BagikanDakwah – Sahabat Dakwah Yang dimuliakan Oleh Allah Swt, Rasulullah menganjurkan
umatnya untuk menikah dan membangun keluarga yang sakinah. Sebelum menikah,
anak laki-laki dan perempuan punya kewajiban yang sangat besar kepada orang
tuanya, khususnya kepada ibunya.
Bila anak perempuan telah menikah, dia akan menjadi hak
suaminya. Orang tua tidak mempunyai hak lagi atas anak perempuan itu. Tapi lain
halnya buat anak laki-laki. Kewajiban mereka berbakti kepada ibunya tidak akan
hilang meskipun dia telah mempunyai istri.
Apa yang menyebabkan ada perbedaan hak ibu terjadap
anak laki-laki yang telah menikah? Lalu bagaimana anak laki-laki seharusnya
memperlakukan ibunya setelah menikah, di samping kewajibannya terhadap istri
dan anak-anaknya? Simak penjelasannya.
Dengan istimewa, Islam menekankan hak ibu kepada anak
laki-laki kandungnya. Hal ini tidak berlaku bagi anak perempuan karena anak
perempuan telah lepas ketika diperistri oleh orang lain. Sedangkan anak
laki-laki tidak bisa lepas meskipun dia telah beristri.
Dengan demikian, pengabdian anak laki-laki kepada ibu
kandungnya tidak putus. Tetapi pengabdian anak perempuan putus dan beralih
kepada suaminya. Karena itu, anak laki-laki lebih terikat kepada ibunya.
Sementara anak perempuan terlepas ikatan pengabdiannya kepada ibunya sendiri.
Suami wajib membelanjai istri dan anaknya serta wajib
terus memperhatikan nasib ibu kandungnya. Anak laki-laki yang dewasa, lalu
menikah, ibunya lebih berkuasa terhadap dirinya dari pada istrinya. Karena ibu
lebih berhak kapada anak laki-laki kandungnya, maka anak tersebut harus
berusaha menjaga perasaan ibunya.
Lantas, bagaimana Bila kebutuhan istri dan kebutuhan
ibu bersamaan waktunya? Bila kepentingan makan dan minum istri telah terpenuhi,
lalu istri punya keperluan lain yang tidak pokok, maka yang wajib didahulukan
adalah kepentingan ibu.
Demikianlah hak ibu kepada anak laki-laki kandungnya.
Jadi istri harus menyadari bahwa kepentingan ibu kandung suaminya adalah
kepentingan yang hampir mutlak kepada si anak. Karena suami masih mempunyai
kewajiban kepada ibunya.
Bila seorang istri tidak menyadari aturan Islam seperti
ini, maka hubungan suami dan istri bisa saja berjalan tidak baik. Oleh sebab
itu, disarankan kepada para istri untuk memahami ilmu agama. Ketika melihat
suaminya begitu taat kepada ibu kandungnya, seorang istri harus meridhoinya.
Keistimewaan seorang ibu juga tergambar dari hadist
Rasulullah SAW. Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Ada seseorang yang datang
menghadap Rasulullah dan bertanya:
“Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan
kebaikanku?” Jawab Rasulullah, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?”
Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia
bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ayahmu.” (Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah)
Ada seseorang yang datang, disebutkan namanya Muawiyah
bin Haydah r.a., bertanya: “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak
dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah saw: “Ibumu.” Dengan diulang tiga kali
pertanyaan dan jawaban yang sama.
Pengulangan kata “ibu” sampai tiga kali menunjukkan
bahwa ibu lebih berhak atas anaknya dengan bagian yang lebih lengkap, seperti
al-bir (kebaBilan), ihsan (pelayanan). Ibnu Al-Baththal mengatakan bahwa ibu mempunyai
tiga kali hak lebih banyak daripada ayahnya. Karena kata ‘ayah’ dalam hadits
disebutkan sekali sedangkan kata ‘ibu’ diulang sampai tiga kali.
Hal ini dapat dipahami dari kondisi ibu ketika hamil,
melahirkan, menyusui. Tiga hal ini hanya bisa dikerjakan oleh ibu, dengan
berbagai penderitaannya, kemudian ayah menyertainya dalam tarbiyah, pembinaan,
dan pengasuhan. Hal itu diisyaratkan pula dalam firman Allah SWT Surat Luqman
ayat 14.
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun?selambat-lambat waktu
menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun?bersyukurlah kepadaKu dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.
Allah menyamakan keduanya dalam berwasiat, namun
mengkhususkan ibu dengan tiga hal yang telah disebutkan di atas. Sementara itu,
Imam Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrad, demikian juga Ibnu
Majah dan Al Hakim menshahihkannya dari Al-Miqdam bin Ma’di Kariba, bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesunguhnya Allah swt. telah berwasiat kepada kalian
tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ibu kalian, kemudian berwasiat
tentang ibu kalian, kemudian berwasiat tentang ayah kalian, kemudian berwasiat
tentang kerabat dari yang terdekat.”
Hal ini memberikan kesan untuk memprioritaskan kerabat
yang didekatkan dari sisi kedua orang tua daripada yang didekatkan dengan satu
sisi saja. Memprioritaskan kerabat yang ada hubungan mahram daripada yang tidak
ada hubungan mahram,kemudian hubungan pernikahan.
Hal ini dikuatkan oleh hadits Imam Ahmad, An-Nasa’i,
Al-Hakim yang menshahihkannya, dari Aisyah r.a. berkata: “Aku bertanya kepada
Nabi Muhammad saw., siapakah manusia yang paling berhak atas seorang wanita?”
Jawabnya, “Suaminya.” “Kalau atas laki-laki?” Jawabnya, “Ibunya.”
Diriwayatkan oleh Al Hakim dan Abu Daud dari Amr bin
Syuaib bahwa ada wanita yang bertanya:
“Ya Rasulullah, perutku pernah menjadi tempat bagi anak
laki-lakiku, dia pernah meminum air susuku dan dia terhibur dalam pangkuanku. Ayahnya
telah menceraikanku dan dia hendak mengambil anakku.” Rasulullah SAW bersabda,
“Kamu lebih berhak daripada ayahnya sebelum kamu menikah dengan lelaki lain.”
Akhirnya wanita itu mengasuh anaknya kembali. Wanita
inilah yang lebih spesifik dengan anaknya dan lebih berhak karena dialah yang
telah mengandung dan menyusui.
Mohon bagikan tulisan ini sebanyak-banyaknya agar anak
laki-laki tetap tahu kewajibannya walaupun telah menikah.
Semoga bermanfaat
Sumber : postshare.co.id