BagikanDakwah
– Sahabat dakwah, apakah benar dalam Islam tidak ada kewajiban mencuci baju
suami dan memasak makanan serta pekerjaan domestik rumah tangga lainnya ? Bagaimana dengan pandangan konservatif soal
kewajiban istri ini? Berikut Ulasannya
Pertanyaan tersebut
sangat menarik, karena tradisi yang berkembang di masyarakat kita di antara
kewajiban seorang istri ialah mengurus rumah tangga dengan pekerjaan mencuci,
memasak, dan lainnya. Sementara tradisi yang berkembang di Timur Tengah, yang
biasa belanja ke pasar ialah para suami, dan pekerjaan rumah tangga menjadi
tanggung jawab suami dengan menggaji pekerja rumah tangga.
Lantas
benarkah dalam Islam tidak ada kewajiban melakukan itu semua bagi seorang
istri? Para ulama berbeda pandangan dalam hal ini sebab tidak ada dalil secara
eksplisit yang menyebutkan kewajiban memasak dan mencuci dibebankan kepada
istri atau menjadi tanggung jawab suami.
Apakah
istri wajib melakukan pekerjaan rumah? Abdul Majid Mahmud Mathlub dalam sebuah kitabnya
Al-Wajiz Fi Ahkamil Usroh al-Islamiyah dan Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah
menjelaskan bahwa sebagian fuqaha berpandangan seorang suami tidak boleh
menuntut istrinya secara hukum untuk melakukan pekerjaan rumah. Karena akad
nikah yang terlaksana antara mereka berdua hanya bermaksud menghalalkan bergaul
antara suami istri untuk menjaga kehormatan diri dan menghasilkan keturunan.
Pekerjaan
rumah seperti mencuci dan memasak termasuk dalam ruang lingkup kewajiban yang
harus disediakan suami dalam kehidupan rumah tangga. Pandangan ini diwakili
oleh mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan az-Zhahiriyah. Adapun riwayat-riwayat
yang menyebutkan bahwa istri harus melayani suaminya hanya menunjukkan sifat
kerelaan dan keluhuran budi.
Seperti
kisah Asma’ binti Abu Bakar yang dinikahi oleh az-Zubair yang miskin tidak mempunyai
harta dan budak, sehingga Asma' turut mengambil air, memberi makan kuda,
membuat roti, bahkan membawa biji-biji kurma di atas kepalanya dari kebun
Zubair yang diberi Rasulullah saw.
Imam Nawawi
mengomentari kisah ini dalam Syarh an-Nawawi. “Semua ini termasuk kepatutan
(apa yang telah dilakukan Asma’ binti Abu Bakar tersebut), bahwa wanita
melayani suaminya dengan hal-hal yang telah disebutkan itu (seperti memasak,
mencuci pakaian, dan lainnya), semua itu merupakan sumbangan dan kebaikan
wanita kepada suaminya, pergaulan yang baik, perbuatan yang makruf, yang tidak
wajib sama sekali atasnya, bahkan seandainya ia tidak mau melaksanakannya maka
ia tidak berdosa.”
Dalam
haditsnya, Rasulullah menjelaskan tentang tanggung jawab kepemimpinan. “Setiap
kamu ialah pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Imam itu pemimpin dalam keluarganya, bertanggung jawab tentang
kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya.
Wanita itu pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab tentang
kepemimpinannya. Khadam itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggung jawab
terhadap kepemimpinannya,” (HR Bukhari).
Abdul Halim
Abu Syuqqoh dalam Tahrirul Mar’ah mengomentari kalimat “Wanita itu pemimpin
dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab tentang kepemimpinannya”.
Menurutnya, bukan berarti wanita harus melaksanakan sendiri semua tugas rumah
tangganya, mulai dari menyiapkan makanan, mencuci, menyetrika hingga
membersihkan rumah. Tapi yang dimaksud ialah, semua itu merupakan tanggung
jawab (pengawasannya), namun bisa dilaksanakan orang lain seperti pekerja rumah
tangga (pembantu), anak-anak, kerabat atau dibantu suaminya sendiri. Maka semua
itu bergantung pada kemampuan nafkah dan finansial suami, juga kesempatan dan
kemampuan istri untuk melaksanakannya dengan tidak mengabaikan tugas utama yang
lainnya, yaitu merawat anak-anak dan mendidiknya dengan baik.
Sementara
fuqaha yang lain berpendapat, melayani suami dan melakukan pekerjaan rumah
merupakan kewajiban istri. Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Thabrani,
Rasulullah saw bersabda, “Bila seorang perempuan telah mengerjakan shalat
fardhu lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan taat
kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: masuklah ke dalam surga dari
pintu mana saja yang engkau sukai.”
Maka
seorang istri, ketika diperintahkan suaminya untuk mencuci dan memasak, ia
harus menaatinya. Karena melayani suami dengan memasakkan makanan dan mencuci
pakaiannya merupakan bagian dari ketaatan pada suami. Nabi saw dan para sahabat
Nabi menyuruh istri-istrinya membuatkan roti, memasak, membersihkan tempat
tidur, menghidangkan makanan, dan sebagainya. Tidak seorang pun dari mereka
yang menolak pekerjaan tersebut.
Terlepas
dari dua pandangan yang berbeda tersebut, pada prinsipnya, hubungan suami istri
dalam Islam dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, saling percaya, saling
tolong menolong dalam suka dan duka. Seluruh urusan dalam rumah tangga
berlandaskan saling ridha dan musyawarah. Masing-masing pihak ikhlas menerima
kelebihan dan kekurangan pasangannya. Mereka harus saling menasihati, saling
membantu untuk menunaikan tanggung jawab kehidupan suami istri serta
pemeliharaan anak-anak dan pendidikan mereka dalam setiap situasi dan kondisi.
Rumah tangga tidak akan harmonis bila hubungan yang dibangun atas penuntutan
hak, bersifat hitam putih, kaku dan saklek.
Semoga
Allah memberkahi istri-istri yang menghabiskan hari-harinya untuk mendidik anak
dan memelihara rumah tangganya dengan mengharapkan ridha Allah semata. Dan
semoga Allah memberkahi suami-suami yang menghabiskan masa hidupnya dalam
berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, anak-anaknya, dan tulus membantu istrinya
dalam mengerjakan tugas-tugas rumahnya. Semoga Allah meridhai rumah tangga yang
dibangun atas azas wata’awanu ‘alal birri wat taqwa, saling menolong dalam
perbuatan kebaikan dan ketakwaan. Wallahu a’lam.
Semoga
tulisan ini bisa bermanfaat
Sumber : ummi-online.com