Bagikandakwah – Sahabat dakwah, Ramadhan adalah bulan yang
paling dirindu kedatangannya oleh seluruh kaum muslimin. Betapa tidak? Pada
bulan Ramadhan segala amal ibadah mendapat ganjaran yang berlipat-lipat ganda
dan hanya pada bulan Ramadhan sajalah kita dapat menemui malam yang lebih baik
dari seribu bulan, yang apabila seseorang melakukan amal shalih karena Allah
ta’ala semata pada saat itu, maka pahala yang didapatnya itu lebih baik dari
usaha yang dilakukannya selama seribu bulan.
Maka sudah sepantasnya, banyak kaum muslimin yang semakin
besar semangatnya untuk beramal shalih pada bulan ramadhan tersebut.
Kaum wanita pun tidak kalah semangat untuk menabung pahala,
akan tetapi kaum wanita memiliki fitrah yang tidak dapat dielakkan, namun
memerlukan perhatian khusus.
Dan tidak sedikit kaum wanita yang masih bingung ketika
dihadapkan dengan masalah-masalah kewanitaan, khususnya pada bulan Ramadhan
seperti sekarang ini. Berikut beberapa masalah yang sering ditemui oleh wanita
berikut solusinya.
Dalam hal ini, terdapat tiga kemungkinan, yaitu:
Pertama:
Keadaan wanita tersebut tidak memungkinkan untuk segera mengqadha puasanya pada
Ramadhan yang lalu hingga datang Ramadhan berikutnya, misal: karena alasan
sakit.
Dalam masalah ini, terdapat dua kondisi, yaitu:
Kondisi
Pertama: Apabila wanita tersebut meninggalkan kewajiban puasa dan
menunda qadha puasanya karena ketidak mampuannya, maka wajib baginya untuk
mengqadha hari-hari yang ditinggalkannya itu saat dia telah memiliki kemampuan
untuk mengqadhanya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu pada hari-hari yang lain,” (Qs. Al-Baqarah: 185)
Kondisi
Kedua: Apabila ketidak mampuan wanita tersebut untuk melaksanakan
puasa bersifat permanen, yakni tidak bisa hilang (sembuh) menurut keterangan
ahli medis dan dikhawatirkan bahwa puasanya itu akan membahayakan dirinya, maka
wanita tersebut harus memberi makan orang miskin sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu sebanyak setengah sha’ (sekitar 1,5 kg) makanan pokok di
daerahnya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin,”
(Qs. Al-Baqarah: 184).
Ketentuan ini juga berlaku bagi wanita yang meninggal karena
sakit, sementara dirinya masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Maka
keluarganya hanya diwajibkan untuk mengeluarkan fidyah sebanyak hari yang
ditinggalkan oleh wanita tersebut. [Lihat penjelasan Ibnu Qayyim dalam kitab
I’laamul Muwaqqi’iin (III/554) dan tambahan keterangannya di Tahdziibus Sunnan Abi
Dawud (III/279-282)]
Kedua:
Wanita tersebut dengan sengaja mengulur-ulur waktu untuk mengqadha utang
puasanya hingga datang Ramadhan berikutnya.
Dalam masalah kedua ini, wanita tersebut harus bertaubat
kepada Allah ta’ala dikarenakan kelalaiannya atas suatu ketetapan Allah. Selain
itu, dia juga harus bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Karena
menunda-nunda pelaksanaan qadha tanpa ada udzur syar’i adalah suatu maksiat,
maka bertaubat kepada Allah merupakan suatu kewajiban. Kemudian, wanita
tersebut harus segera mengqadha puasanya setelah bulan Ramadhan berikutnya.
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu…” (Qs. Ali
‘Imran: 133)
Ketiga: Wanita tersebut tidak mengetahui kewajiban
melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, karena minimnya ilmu agama, dan atau
tidak mengetahui secara pasti jumlah hari yang ditinggalkannya selama bulan
Ramadhan yang lalu.
Dalam masalah ketiga, seorang wanita dinyatakan mukallaf
(terkena beban ketentuan syari’at) dengan beberapa syarat, yaitu: (1) beragama
Islam, (2) berakal, (3) telah baligh. Dan balighnya seorang wanita ditandai
dengan datangnya haidh, tumbuhnya bulu di daerah sekitar kema*luan, keluarnya
ma*ni, atau telah memasuki usia 15 tahun. Apabila syarat-syarat tersebut telah
terpenuhi, maka kewajiban untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan telah
jatuh kepadanya, dan dia juga berkewajiban untuk melaksanakan qadha puasa
sejumlah hari yang ditinggalkannya.
Namun, apabila wanita tersebut tidak mengetahui hukum-hukum
yang ditetapkan oleh syari’at -bukan karena dia tidak ingin atau malas mencari
tahu, akan tetapi karena sebab lain yang sifatnya alami, misal karena dia
tinggal di daerah pedalaman yang jauh dari para ahli ilmu- maka tidak ada dosa
baginya meninggalkan puasa pada tahun-tahun dimana dia masih dalam keadaan
jahil (tidak tahu) terhadap ketentuan syari’at. Kemudian, apabila dia telah
mengetahuinya, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan,
dan hendaknya dia mengqadha puasa yang ditinggalkannya sewaktu dia masih dalam
keadaan tidak tahu, agar dapat terlepas dari dosanya. [Lihat Fataawa Nur ‘ala
ad-Darb, Syaikh Utsaimin, hal. 65-66 dan Fatwa-Fatwa Tentang Wanita
(I/227-228)]
Adapun apabila wanita tersebut ragu akan jumlah hari yang
ditinggalkannya, maka dia dapat memperkirakannya, karena Allah ta’ala tidak
membebani seseorang diluar kesanggupannya. Allah berfirman yang artinya,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya,” (Qs. Al-Baqarah: 286)
Dan firman Allah yang artinya,
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,”
(Qs. At-Taghaabun: 16).
Semoga bermanfaat, Hanya Allah yang memberi taufik dan
hidayah