Bagikandakwah – Sahabat dakwah, Akan tiba masanya bagi seorang
wanita untuk menikah dan melahirkan keturunan. Melahirkan tentu bisa jadi tak
hanya sekali. Sayangnya, hajat besar kaum hawa dari proses kehamilan hingga
melahirkan ini belum didukung ketersediaan tenaga medis perempuan yang mencukupi.
Bahkan, dokter spesialis obstetri ginekologi didominasi kaum pria. Secara
syariat, bolehkah melakukan proses persalinan dengan dokter laki-laki?
Islam dikenal sangat apik dalam menjaga aurat perempuan.
Firman Allah SWT, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) tampak dari padanya.” (QS an-Nur [24]: 31). Ayat ini menegaskan,
jangankan anggota tubuh, memperlihatkan perhiasan saja belum tentu 100 persen
diakomodasi syariat Islam.
Hukum asal memperlihatkan aurat bagi kaum perempuan ataupun
laki-laki adalah haram. Bahkan, hukum asal melihat aurat perempuan sesama
perempuan tetap haram. Sebagaimana hadis Nabi SAW dari Abu Said al-Khudri,
“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki dan janganlah seorang
wanita melihat aurat wanita (lain).” (HR Muslim). Pengharaman soal aurat ini
banyak sekali diterangkan dalam berbagai dalil Alquran, hadis, hingga jumhur
seluruh ulama.
Pada proses persalinan, tak hanya sekadar aurat, tapi juga
menampakkan aurat mughallazhah dari perempuan. Tak pula hanya sekadar melihat,
tapi juga ada tindakan menyentuh. Namun, dalam proses persalinan, hukum asal
yang semula haram dipengaruhi kaidah fikih yang mengatakan, Ad-Dharuratu
tubihul mahdzurat (Kondisi darurat bisa membolehkan perkara yang dilarang).
Sehingga, melihat aurat mughallazah perempuan yang semula haram bisa menjadi
boleh, bahkan wajib jika benar-benar sangat dibutuhkan.
Dalam proses persalinan, para ulama memberikan urutan-urutan
siapa saja yang boleh menangani persalinan. Urutan ini tercantum dalam keluaran
fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi. Pertama, hendaklah suami istri merencanakan
persalinan dengan dokter Muslimah. Inilah yang pertama kali harus dilakukan.
Jika cara ini buntu, urutan kedua melahirkan dengan dokter wanita non-Muslim.
Jika urutan kedua juga tak didapati, urutan ketiga
diperbolehkan melahirkan dengan dokter laki-laki Muslim. Jika tidak juga
didapati, alternatif terakhir diperbolehkan datang kepada dokter laki-laki
non-Muslim. Empat urutan ini harus ditempuh dari awal.
Para ulama memesankan kepada suami-istri, hendaklah berupaya
semaksimal mungkin agar menjalani proses persalinan pada urutan yang pertama.
Demikian juga, urutan ini juga berlaku untuk persalinan dengan jalan operasi
caesar.
Wajib bagi pasutri untuk mengetahui siapa dokter yang akan
menangani persalinan. Ketika akan melahirkan, si istri langsung diboyong ke
rumah sakit tanpa tahu terlebih dahulu laki-laki atau perempuankah yang akan
menangani persalinan. Perbuatan ini tentu kesewenang-wenangan dalam memandang
syariat.
Demikian juga kasus pasutri yang memilih melahirkan dengan
dokter laki-laki, padahal di tempatnya terdapat dokter perempuan. Alasan mereka
karena penanganan dokter laki-laki lebih baik dari dokter perempuan. Tentu
alasan ini tidaklah bisa diterima syariat.
Para ulama mensyaratkan beberapa hal jika dalam kondisi
darurat pasien wanita harus ditangani dokter laki-laki. Para ulama Lajnah Arab Saudi
juga mensyaratkan pendampingan dari suami, ibu, atau kerabat perempuan dari
istri ketika menjalani proses persalinan.
Jika seorang wanita akan menjalani persalinan dengan dokter
laki-laki, ia wajib didampingi agar keduanya tidak berkhalwat. Jika melahirkan
dengan dokter perempuan, pendampingan hanya bersifat anjuran, namun tidak wajib
secara syariat.
Jika memang proses persalinan harus ditangani dokter
laki-laki, dokter tersebut haruslah amanah dan menjaga adab kesopanan. Ia hanya
diperbolehkan menangani apa yang menjadi “wilayah” kerjanya. Haram baginya
untuk melihat atau menyentuh anggota tubuh lain yang tidak diperlukan. Di
sinilah perlunya pendampingan dari suami atau keluarga pasien.
Para ulama menyebutkan, jika problema penanganan persalinan
ini diluaskan, banyak aspek lainnya yang juga terkena imbas hukum syar’i.
Misalnya, bagi dokter Muslimah spesialis obstetri ginekologi. Haram baginya
menolak pasien perempuan jika diketahui persalinan tersebut pada akhirnya akan
ditangani dokter laki-laki.
Demikian juga, menjadi fardhu kifayah hukumnya bagi kaum
perempuan di suatu daerah untuk belajar obstetri ginekologi, jika di daerah
tersebut tidak ada dokter bersalin perempuan. Menjadi dosa bagi pemerintah dan
seluruh penduduk setempat jika terjadi pembiaran persalinan yang ditangani kaum
laki-laki tanpa ada solusi atau upaya pencegahan.
Lantas bagaimana jika sebatas pemeriksaan kehamilan saja?
Pada dasarnya, urutan kebolehan secara syariat sama dengan urutan siapa saja
yang boleh menangani proses persalinan. Pemeriksaan persalinan juga boleh
dilakukan dengan dokter laki-laki dengan memperhatikan persyaratan-persyaratan
yang diberikan para ulama.
Pemeriksaan kehamilan dengan dokter laki-laki perlu lebih
diperinci. Apakah dengan tujuan pengobatan, ada kekhawatiran akan kondisi
janin, untuk mengetahui kondisi janin, atau sekadar pengecekan saja. Hal ini
memengaruhi tingkat darurat yang akan menghalalkan apa yang sebelumnya
diharamkan syariat.
Al-Khathib asy-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj mengatakan,
melihat dan menyentuh perempuan dibolehkan ketika melakukan hijamah dan
pengobatan, bahkan melihat kema*luan sekalipun, jika ada keperluan untuk itu.
Karena, jika tidak dibolehkan, ketika itu justru akan menyulitkan (haraj).
Tetapi, janganlah dokter atau pasien berlebih-lebihan atau
menggampang-gampangkan batasan syariat. Firman Allah SWT, “Tetapi, barang siapa
terpaksa, bukan karena menginginkannya tidak pula melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS
al-Baqarah [2]: 173). Wallahu a’lam.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat
Sumber : islamidia.com