Bagikandakwah – Sahabat dakwah, masih ingatkah anda ketika kecil dulu kita
sering diajak orangtua mengunjungi saudara atau kerabat? Ikut arisan di rumah paman
atau Om Fulan, halal bi halal dengan
keluarga dari sana-sini yang kadang kita tak terlalu kenal?
Orangtua kita tampak ceria menyapa siapa saja. Kalau lupa
dengan seseorang terlontarlah kalimat reminder yang umum, “Ooh, ini anaknya si
Anu ya?”, atau saudara yang lebih tua mengingatkan, “Bapaknya Uwak ini, adik
kakak dengan kakekmu”. Tinggal kita yang menggut-manggut berusaha mengerti
walau tak paham. Yang kita ingat dulu, bermain dengan teman-teman sebaya pada
acara-acara demikian sungguh menyenangkan. Entah dengan sepupu, keponakan, atau
paman, yang penting bisa diajak seru-seruan.
Orangtua dahulu memang sangat mementingkan acara
kunjung-mengunjungi seperti ini. Belum adanya teknologi media sosial seperti sekarang
malah membuat acara kumpul-kumpul dimanfaatkan betul untuk saling bercengkerama
sehingga pertemuan menjadi berkualitas. Mereka bisa mengetahui silsilah atau
garis keturunan sampai tiga atau empat generasi di atasnya. Tahu si kakek ini
punya anak dan cucu siapa saja, kenal dengan sepupu jauh atau sepupu dekat,
bahkan keluarga sahabat orangtua di kampung bisa menjadi seperti keluarga dekat
walau tidak satu garis keturunan.
Sampai pada generasi kita, apakah kita bisa mengingat garis
keturunan ayah dan ibu beberapa generasi di atas kita? mampukah kita
mengenalkan silsilah keluarga ini kepada anak-anak kita?
Belajar
dari Kekerabatan Orangtua
Menurut Drs Soleh Amini Yahman, M.Si, Psikolog, generasi
terdahulu memang lebih baik dalam menjaga kekerabatan dalam keluarga, karena
mereka masih terikat oleh ikatan adat tradisional yang kuat dalam berkehidupan.
“Kehidupansosiocultural mereka masih sangat sederhana dan tuntutan hidup mereka
belumlah sekompleks saat ini. Nah, sementara generasi sekarang bersikap lebih
longgar dalam menyikapi kehidupan kekerabatan dan kehidupan sosial pada
umumnya,” jelas dosen di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
ini.
Generasi sekarang hidupnya lebih disibukkan oleh urusan
karier dan mencari nafkah demi masa depan anak-anaknya, atau demi prestasi
tertentu yang telah menjadi target kehidupannya. Di samping itu, imbuhnya lagi,
tuntutan kehidupan generasi sekarang jauh lebih tinggi, lebih rumit dan lebih
kompleks dari generasi terdahulu. Karena itu, seiring perubahan zaman,
prioritas kehidupan sosial pun berubah.
Namun demikian, kita tidak boleh memaklumkan saja prioritas
yang semakin bergeser ini. Biar bagaimanapun, menjaga silaturahim dalam satu
keluarga besar sangat penting dan mengandung kebaikan yang banyak. Dan
kerenggangan di dalamnya akan melahirkan kerugian yang tidak sedikit pula.
Tidak adanya ikatan sosial dan emosional yang kuat di antara
orang-orang yang sebenarnya masih bersaudara adalah efek kerenggangan
kekerabatan yang sering kita lihat sekarang. Bahkan tak sedikit yang di masa
tuanya hidup sebatangkara karena tak tahu lagi siapa dan di mana saudaranya.
“Ketika mereka merasa tidak mempunyai kewajiban emosional dan kekerabatan,
akibatnya terjadi disharmoni sosial dalam kehidupan bermasyarakat, seperti
mudahnya terjadi konflik atau perselisihan ketika ada perbedaan paham, atau
tidak ada keterikatan hati untuk saling membantu saat sulit,” tambah Soleh.
Dari sisi syariat, ungkap Ustadz H Ali Fikri Noor, Lc, MA,
efeknya lebih berbahaya lagi. Keluarga yang tidak dibiasakan mengenal garis
kekerabatannya, rentan terjadi pernikahan sedarah. Hal ini sangat dihindari
dalam Islam.
Pentingkah
Mengetahui Nasab Keluarga?
Jika Rasulullah saw hafal kakek-kakek beliau sampai ke Nabi
Ibrahim, dan para ahli hadits sangat memperhatikan masalah nasab terkait
diterima atau tidaknya periwayatan hadits seseorang, apakah umat Islam wajib
mengetahui nasab keluarga?
Menurut Ali Fikri, tidak ada kewajiban bagi kita untuk
menghafal nasab keluarga kita. Tapi jika dilakukan, itu tetap baik,karena
tandanya kita punya perhatian terhadap nasab. “Yang utama ada dalam surat
Al-Ahzab, ‘Panggilah mereka dengan nama ayah mereka, itu lebih adil di sisi
Allah.’ Tidak boleh memanggil dengan nama ayah angkat, karena akan merusak
nasab. Sebagaimana Rasulullah pernah memanggil Zaid bin Haritsah menjadi Zaid
bin Muhammad, dan kemudian ditegur oleh Allah,” jelasnya.
Di antara tujuan-tujuan syariat Islam, ungkapnya lagi,
pertama adalah hifzud din (menjaga agama), lalu hifzul maal(menjaga harta),
kemudian hifzun nasab (menjaga nasab).
Artinya, ketika Islam membuat tatanan kehidupan, maka di antara
tujuannya adalah menjaga nasab. “Atas dasar inilah Allah mengharamkan
perzinaan. Bahkan mendekatinya saja tidak boleh. Karena itu pula ulama melarang
ikhtilat antara laki-laki dan perempuan. Itu tujuan akhirnya untuk menjaga
nasab, agar tidak bercampur,” jelas Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah dan
Dirasat Islamiyah Al Hikmah, Jakarta ini.
Bahkan untuk menjaga nasab ini juga, lanjut Ali Fikri, Islam
mewajibkan adanya masa iddah kepada perempuan
yang baru saja cerai atau ditinggal suaminya sebelum ia menikah lagi,
selama 3 bulan 10 hari. Untuk apa? Supaya rahim menjadi bersih, tidak bercampur
antara benih suami dengan suami sebelumnya.
Jika menghafal nasab tidak wajib, namun menjaga kebersihan
nasab adalah suatu keutamaan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw,
“Pilihlah tempat benih mani kalian, nikahilah pasangan yang sekufu…” (HR Ibnu
Majah). Dan dalam hadits yang lain, “Jauhi oleh kalian khadhraa`ad diman.”
Mereka berkata, “Apakah khadhraa`ad diman wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,
“Wanita cantik yang tumbuh dalam lingkungan buruk.”
Dari hadits ini, Ali Fikri menjelaskan bahwa nasab itu akan
berdampak. “Jika calon istri dari nasab yang kurang baik sedangkan suami dari
nasab yang baik, maka ada risiko nasab suami menjadi kurang baik,” paparnya.
Kenalkan
Keluarga pada Anak
Dalam menjaga silsilah keluarga, Soleh Amini menyarankan
kepada para orangtua untuk membiasakan saling berkunjung dan memahamkan kepada
anak siapa saja keluarga mereka, yang mana sepupu, paman, bibi, dsb. “Orangtua
juga bisa menceritakan histori atau sejarah dari kakek-nenek, paman atau bibi
mereka,” sarannya.
Diingatkan juga, jangan hanya berusaha mengenal keluarga
besar sendiri, tapi dekatkan pula anak-anak pada keluarga besar pasangan.
Orangtualah yang paling bertanggung jawab jika kelak anak-anaknya sampai tak
mengenal saudara-saudaranya di keluarga besar.
Meutia
Geumala
Wawancara:
Didi Muardi & Nur Fitriyani
Jika
sudah terlanjur Retak, Maka Rekatkanlah
Ketika hubungan keluarga tak sekadar renggang, namun sudah
retak karena berbagai sebab, apa yang harus dilakukan? Berikut beberapa kiat
yang bisa dilakukan agar perselisihan antarsaudara bisa terurai dan menjadi
harmonis kembali.
Menyadari bahwa akan berkurang nilai shalat, puasa, dan
sedekah jika silaturahim rusak. Rasulullah saw bersabda, “Maukah aku kabarkan
kepada kalian yang lebih baik daripada derajat puasa, shalat, dan sedekah?
Mereka menjawab, ‘Tentu.’ Baiknya hubungan di antara sesama, karena rusaknya
hubungan di antara sesama mengikis habis agama,” (HR At-Tirmidzi).
Ada salah satu yang bersedia mengendurkan egonya. Hilangkan
rasa rendah diri atau gengsi untuk meminta maaf lebih dulu, jika memang ada
kesalahan yang membuat kerenggangan dalam kekerabatan.
Tetap jaga silaturahim,
terutama ketika berada pada posisi yang memiliki kedudukan (berkuasa). “Maka
apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS Muhammad [47): 22).
Memberi hadiah.
Sesungguhnya, memberi hadiah akan menghilangkan permusuhan dan mendatangkan
kasih sayang. “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling
mencintai,” (HR Al-Bukhari).
Berdoa agar dihilangkan dengki. Sesungguhnya Allah Maha
Pembolak-balik hati hamba-Nya. Maka mintalah hati kita terlebih dahulu agar
bersih dari dengki dengan rutin membaca doa ini, "Ya Rabb kami, ampunilah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang," (QS Al-Hasyr [59]: 10).
Semoga menjadi pengingat dan bermanfaat.
Sumber : ummi-online.com