Bagikandakwah – Sahabat dakwah, Dunia hiburan internasional
kembali geger dengan kematian seorang legendaris dari band rock kenamaan
terkenal, Chester Bennington. Penyebabnya adalah bunuh diri yang telah
dilakukan olehnya. Lalu, sosial media pun dipenuhi dengan ungkapan duka cita.
Salah satunya adalah dengan semakin maraknya istilah “RIP” yang kemudian
bertebaran di dunia maya.
Entah karena tidak tahu lalu mengikuti tren atau tahu tapi
kemudian tetap dilakukan, banyak diantaranya teman-teman atau orang terdekat
yang beragama Islam, terutama generasi muda, menggunakan istilah RIP.
Sangat disayangkan, tentu hal ini harus diluruskan supaya
tidak semakin banyak yang salah kaprah dalam penggunaan istila-istilah yang
pada nyatanya dibumikan oleh orang-orang yahudi yang memang berniat ingin
merusak generasi Islam dan menjauhkan dari ajaran Islam.
Maka, terkait hal itu mari kita awali dengan mengulas
sejarah dari kata RIP itu sendiri. RIP
kepanjangan dari Requiescat in pace merupakan bagian dari aqidah
Katholik, biasa terdapat pada epitaf dan disenandungkan saat Misa Requiem.
Keyakinan ini juga terdapat pada agama Yahudi. Epitaf RIP ditemukan pada nisan
Bet Shearim, Yahudi, meninggal 1 Abad Sebelum Masehi.
Rest in Peace dalam bahasa Inggris, variasi lainnya adalah
Requiescat in pace, penambahan kata “may (semoga)”. Ini terkait keyakinan dosa
ditebus. Ungkapan RIP dalam bentuk ringkas maupun panjang digunakan pada
upacara pemakaman tradisional Yahudi. Apa pijakannya? Talmud kuno. RIP dalam
bahasa Inggris, yakni rest in peace, tak ditemukan pada kuburan sebelum abad
VIII Masehi. Meluas penggunaannya setelah abad XVIII.
Ungkapan RIP pada agama Katholik terdapat dalam Misa Requiem
(Missa pro Defunctis) yang merupakan bagian dari ritus Tridente. Paus
(Emeritus) Benediktus XVI menyatakan Ritus Tridente (Tridentin) merupakan
bentuk misa yang luar biasa. Ia keluarkan surat edaran tahun 2007. Ini
merupakan surat pribadi (motu proprio) kepada seluruh gereja untuk menggunakan
Misa Tridentin. Surat ini bermakna penegasan bahwa ungkapan RIP merupakan
bagian tak terpisahkan.
Lantas, kemudian banyak yang menggulirkan pertanyaa dalam
upayanya mencari pembenaran bahwa yang dilakukannya itu adalah benar dengan
pernyataan berikut: “Ini kan bagus, meskipun dia bukan muslim, sebagai sesama
manusia kita harus merasa berduka dan juga mendo’akannya juga!”.
Ya, tentu saja itu benar. Islam tidak melarang umatnya untuk
mengucapkan simpati kepada non-muslim atau keluarganya yang sedang tertimpa
musibah atau meninggal dunia. Namun, tentu dengan catatan bahwa ucapannya itu
tidak melanggar syari’at. Dalam hal ini, tidak menyerupai apa yan dilakukan
orang kafir (tasyabuh). Istilah ini tentu memang sengaja diperkenalkan kepada
generasi muslim yang dangkal ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk merusak.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan
generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada
yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka
itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka,
lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
Mengapa tasyabuh dilarang bagi umat Islam?
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk
bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam
dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no.
1269)
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai
selain kami” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan).
Kenapa sampai kita dilarang meniru-niru orang kafir secara
lahiriyah? Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ
“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada
keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh
dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).
Lalu, jika RIP itu diberikan bukan kepada non-muslim, tetapi
kepada muslim, apakah tetap tidak boleh?
Perhatikanlah firman Allah Ta’alaa berikut ini,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِين
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:155)
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُون
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (QS. Al-Baqarah:156)
Berdasarkan ayat tersebut, tiada kalimat lain yang lebih
pantas untuk diucapkan ketika mendapat musibah atau cobaan selain dengan
kalimat: “Innalillahi wa inna ilahi raa jii ‘uun”.
Demikianlah penjelasan di atas menegaskan kepada kita
sebagai generasi muslim untuk meninggalkan hal-hal yang meniru ajaran orang
kafir yang tentunya menyalahi syari’at Islam. Pelajarilah kembali banyak hal
yang berkaitan dengan ajaran agama Islam agar kita tidak menjadi generasi bodoh
yang akan mudah dibodohi. Berkomitmenlah untuk menjadi umat yang istiqomah dan
taat terhadap ajaran agama Islam, termasuk dengan tidak menggunakan kembali istilah
RIP dan hal lainnya yang bukan bersumber dari ajaran Islam, Wallahu a’lam bish
shawwab.
Semoga bermanfaat
Sumber : hijaz.id