Bagikandakwah – Sahabat dakwah, Salah satu puasa sunnah yang sangat dianjurkan
adalah puasa arafah. Puasa ini dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah bagi yang
tidak sedang mengerjakan ibadah haji. Banyak keutamaan yang terkandung
didalamnya, sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya kita berlomba-lomba untuk
berupaya melakukannya.
Namun, terkait puasa ini, bagaimana jika dilakukan oleh
orang yang masih mempunyai hutang puasa ramadhan? Bolehkah? Berikut ini
penjelasan dari Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Para fuqoha berselisih pendapat
dalam hukum melakukan puasa sunnah sebelum melunasi qadha’ puasa Ramadhan. Para
ulama Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunnah sebelum qadha’ puasa
Ramadhan. Mereka sama sekali tidak mengatakannya makruh. Alasan mereka, qadha’
puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin.
Ibnu ‘Abdin mengatakan, “Seandainya wajib qadha’ puasa
dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika
seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qadha’ puasa Ramadhan. Qadha’ puasa
bisa saja diakhirkan selama masih lapang waktunya.”
Para ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat tentang
bolehnya namun disertai makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari
qadha’ puasa. Karena jika melakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan
yang wajib (demi mengerjakan yang sunnah).
Ad Dasuqi berkata, “Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan
puasa sunnah padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa
nadzar, qadha’ puasa, dan puasa kafaroh. Dikatakan makruh baik puasa sunnah
yang dilakukan dari puasa wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau
puasa sunnah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa ‘Asyura’,
puasa pada 9 Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat.”
Para ulama Hanabilah menyatakan diharamkan mendahulukan puasa
sunnah sebelum mengqadha’ puasa Ramadhan. Mereka katakan bahwa tidak sah jika
seseorang melakukan puasa sunnah padahal masih memiliki utang puasa Ramadhan
meskipun waktu untuk mengqadha’ puasa tadi masih lapang. Sudah sepatutnya
seseorang mendahulukan yang wajib, yaitu dengan mendahulukan qadha’ puasa. Jika
seseorang memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah
menunaikan kewajiban puasa Ramadhan (qadha’ puasa Ramadhan). Dalil dari mereka
adalah hadits Abu Hurairah,
من صام تطوّعاً وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنّه لا يتقبّل منه حتّى يصومه
“Barangsiapa yang melakukan
puasa sunnah namun masih memiliki utang puasa Ramadhan, maka puasa sunnah
tersebut tidak akan diterima sampai ia menunaikan yang wajib.” Catatan penting,
hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).[1] Para ulama Hanabilah juga
mengqiyaskan (menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang
lain (padahal ia sendiri belum berhaji) atau ia melakukan haji yang sunnah
sebelum haji yang wajib, maka seperti ini tidak dibolehkan.
Jika Merujuk pada Dalil
Dalil yang menunjukkan bahwa terlarang mendahulukan puasa
sunnah dari puasa wajib adalah hadits yang dho’if sebagaimana diterangkan di
atas.
Dalam mengqadha’ puasa Ramadhan, waktunya amat longgar,
yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Allah Ta’ala sendiri memutlakkan qadha’ puasa
dan tidak memerintahkan sesegera mungkin sebagaimana dalam firman-Nya,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 185).
Begitu pula dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau
mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku masih memiliki utang puasa
Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqadha’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya
(salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena
beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 1950
dan Muslim no. 1146)
Sebagaimana pelajaran dari hadits ‘Aisyah yang di mana
beliau baru mengqadha’ puasanya saat di bulan Sya’ban, dari hadits tersebut
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh mengakhirkan qadha’ puasa
lewat dari Ramadhan berikutnya.” (Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, 4: 191)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan menyegerakan
mengqadha’ puasa Ramadhan. Jika ditunda, maka tetaplah sah menurut para ulama
muhaqqiqin, fuqaha dan ulama ahli ushul. Mereka menyatakan bahwa yang penting
punya azam (tekad) untuk melunasi qadha’ tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 8:
23).
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Inilah pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu boleh melakukan
puasa sunnah sebelum qadha’ puasa selama waktunya masih lapang, pen). Jika
seseorang melakukan puasa sunnah sebelum qadha’ puasa, puasanya sah dan ia pun
tidak berdosa. Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar
(lantas ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185).
Dalam ayat ini dikatakan untuk mengqadha’ puasanya di hari lainnya dan tidak
disyaratkan oleh Allah Ta’ala untuk berturut-turut. Seandainya disyaratkan
berturut-turut, maka tentu qadha’
tersebut harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
masalah mendahulukan puasa sunnah dari qadha’ puasa ada kelapangan.” (Syarhul
Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 6: 448).
Sahabat dakwah, Kesimpulannya yakni kita masih boleh
berpuasa Arafah maupun berpuasa sunnah di awal Dzulhijjah meskipun memiliki
utang puasa (qadha puasa). Asalkan yang punya utang puasa tersebut bertekad
untuk melunasinya. Wallahu a’lam
Sumber : www.hijaz.id