Bagikandakwah – Sahabat dakwah, Sudah menjadi suatu keharusan
dan kewajiban bagi seorang muslim untuk memiliki sifat mulia, Allah Ta’alaa
telah mengirim utusan yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
manusia yang harus diteladani dan dijadikan contoh dalam berakhlak, ber-aqidah
dan perkara lainnya. Karena, dalam Al-qur’an pun telah disebutkan bahwa pada
diri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat suri tauladan yang baik untuk
kita semua.
Berbicara mengenai akhlak mulia, mari kita bersama fahami
sebuah firman Allah Ta’alaa yang menyinggung mengenai perkara-perkara yang
dicintai Allah Ta’alaa, dimana perkara tersebut merupakan salah satu dari
akhlak mulia yang sangat dianjurkan untuk dimiliki oleh kita semua selaku
hamba-Nya.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan..” (QS. Ali Imran: 134)
Berdasarkan ayat tersebut, Ustad Muhammad Abduh Tuasikal
memaparkan poin-poin dari akhlak mulia yang terdapat di dalamnya. Berikut
ulasan selengkapnya
Pertama,
rajin bersedekah.
Kata Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaad Al-Masiir (1: 460),
Ibnu ‘Abbas berkata bahwa mereka berinfak baik dalam keadaan susah maupun
lapang. Sedangkan maksud ayat adalah mereka tetap bersedekah dan tidak lupa
untuk bersedekah saat dalam keadaan lapang. Ketika susah pun, mereka tetap
bersedekah. Artinya, lepas dari mereka sifat pelit.
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah,
“Saat sulit tetap sedekah, saat lapang juga bersedekah. Jika berada dalam
keadaan lapang, ia perbanyak sedekahnya. Jika dalam keadaan sulit, ia tetap
berbuat baik walau sedikit.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 148)
Dalam ayat lainnya disebutkan mengenai balasan dari orang
yang rajin sedekah,
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan,
maka mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274)
Ada motivasi untuk bersedekah dalam keadaan sehat yaitu
disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang
menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا قَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ ، تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى ، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا ، وَلِفُلاَنٍ كَذَا ، وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ
“Wahai Rasulullah, sedekah yang
mana yang lebih besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Engkau bersedekah pada saat
kamu masih sehat disertai pelit (sulit mengeluarkan harta), saat kamu takut
menjadi fakir, dan saat kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan janganlah engkau
menunda-nunda sedekah itu hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan,
kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu
sudah menjadi hak si fulan.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1419 dan
Muslim no. 1032).
Dalam hadits lain disebutkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ قَالُوا وَكَيْفَ قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ دِرْهَمَانِ تَصَدَّقَ بِأَحَدِهِمَا وَانْطَلَقَ رَجُلٌ إِلَى عُرْضِ مَالِهِ فَأَخَذَ مِنْهُ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ فَتَصَدَّقَ بِهَا
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Satu dirham dapat mengungguli seratus ribu dirham“. Lalu ada yang
bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau jelaskan, “Ada
seorang yang memiliki dua dirham lalu mengambil satu dirham untuk disedekahkan.
Ada pula seseorang memiliki harta yang banyak sekali, lalu ia mengambil dari
kantongnya seratus ribu dirham untuk disedekahkan.” (HR. An-Nasa’i no. 2527 dan
Imam Ahmad 2: 379. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Hadits
ini menunjukkan keutamaan sedekah dari orang yang susah dibanding dengan orang
yang memiliki harta melimpah.
Kedua,
menahan amarah.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah
berkata, jika ada yang ingin mengobarkan amarah sampai dalam hati penuh dendam,
inginnya membalas dengan perkataan dan perbuatan, maka mereka yang dipuji dalam
ayat ini tidak mempraktikkan apa yang diinginkan hawa nafsu mereka. Mereka
berusaha menahan amarah. Mereka berusaha sabar ketika disakiti oleh orang lain.
(Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 148)
Dalam puasa pun kita diajarkan untuk bisa menahan amarah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ ، أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Jika salah seorang dari kalian
sedang berpuasa, maka janganlah berkata-kata kotor, dan jangan pula bertindak
bodoh. Jika ada seseorang yang mencelanya atau mengganggunya, hendaklah
mengucapkan: sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari, no. 1904; Muslim,
no. 1151)
Lihatlah balasan untuk orang yang ingin mencela kita sehingga
bisa membangkitkan amarah adalah dengan sabar dan balas dengan tutur kata yang
baik.
Ibnu Batthal mengatakan, “Ketahuilah bahwa tutur kata yang
baik dapat menghilangkan permusuhan dan dendam kesumat. Lihatlah firman Allah
Ta’ala,
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Tolaklah (kejelekan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat:
34-35). Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah laku yang
baik.” (Syarh Al-Bukhari, 17: 273)
Keutamaan menahan marah disebutkan dalam hadits dari Mu’adz
bin Anas, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا – وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ – دَعَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ
“Siapa yang dapat menahan
marahnya padahal ia mampu untuk meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di
hadapan para makhluk pada hari kiamat sehingga orang itu memilih bidadari
cantik sesuka hatinya.” (HR. Abu Daud no. 4777 dan Ibnu Majah no. 4186. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa sanad hadits ini hasan)
Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergelut. Yang
kuat, itulah yang kuat menahan marahnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Yang namanya kuat bukanlah
dengan pandai bergelut. Yang disebut kuat adalah yang dapat menguasai dirinya
ketika marah.” (HR. Bukhari, no. 6114; Muslim, no. 2609)
Ketiga,
mudah memaafkan.
Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal menjelaskan bahwa yang
dimaksud di sini adalah mudahkan memaafkan orang yang menyakiti kita dengan
perkataan dan perbuatan. Memaafkan itu lebih utama dari sekedar menahan amarah.
Memaafkan itu berarti tidak ingin membalas dan tetap berbuat baik pada yang
berbuat jahat pada kita. Tentu yang mudah memaafkan adalah orang yang memiliki
akhlak yang luar biasa. Tentu yang diharap dari memaafkan di sini adalah pahala
di sisi Allah, bukan balasan dari manusia. Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Maka barang siapa memaafkan dan
berbuat baik maka pahalanya di sisi Allah.” (QS. Asy-Syura: 40). Demikian
dijelaskan oleh Syaikh As-Sa’di dalam Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 148.
Orang yang pemaaf yang tidak mau membalas dipuji oleh Rasul
dalam hadits saat beliau memberikan wasiat pada Jabir bin Sulaim,
وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ
“Jika ada seseorang yang
menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka
janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya.
Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.” (HR. Abu Daud, no. 4084; Tirmidzi,
no. 2722. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini shahih).
Berdasarkan pemaparan diatas, jelas sekali bahwa tugas utama
seorang muslim adalah terus mengupayakan dirinya agar senantiasa bisa melakukan
amal kebaikan yang dicintai oleh Allah Ta’alaa, sesuai dengan apa yang telah
difirmankan dalam Al-Qur’an. Hanya Allah-lah sebaik-baik pelindung dan
penolong, semoga kita tergolong ke dalam orang-orang yang senantiasa diberi hidayah
untuk melakukan amal kebaikan, sekecil apapun. Wallahu a’lam bish shawab.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat
Sumber : hijaz.id