Bagikandakwah – Sahabat dakwah, bagaimana hukumnya berwisata
ditempat ibadah non muslim ? bagaimana pandangan islam dalam hal ini ?
Beberapa waktu lalu
ada perayaan hari raya salah satu agama (selain Islam) yang diselenggarakan di
sebuah tempat wisata ikonik daerah Jawa Tengah. Sebagai penyuka travelling,
saya sempat diajak teman-teman untuk melakukan perjalanan ke tempat itu guna
menyaksikan prosesi ibadah mereka dan ikut dalam acara pelepasan lampion.
Sebenarnya bagaimana Islam memandang wisata ke tempat ibadah non-Muslim?
Ulama berbeda
pendapat mengenai hukum wisata atau mengunjungi tempat ibadah orang-orang
non-Muslim, seperti gereja, kuil dan semacamnya. Lebih jelasnya sebagai
berikut:
Jumhur ulama (pendapat mayoritas) dari mazhab Malikiyah,
Hanabilah, membolehkan seorang Muslim mengunjungi gereja dan semacamnya.
Mazhab Syafi'i menyatakan, boleh seorang Muslim mengunjungi
gereja yang menjadi ahli dzimmah dengan izin mereka, kecuali di dalam gereja
tersebut terdapat patung-patung.
Sementara mazhab Hanafiyah memakruhkan seorang Muslim
mengunjungi gereja dengan makruh pengharaman, karena tempat-tempat ibadah ini
adalah tempatnya setan, bukan dari sisi tidak bolehnya seseorang masuk (Radd
Al-Mukhtar 1/380).
Dan yang rajih (paling kuat) adalah pendapat jumhur ulama
yang membolehkan seorang Muslim mengunjungi atau masuk ke dalam gereja dan
tempat ibadah orang-orang kafir tanpa paksaan.
Dalil yang
membolehkan berwisata dan masuk gereja:
> Tsabit bahwa para sahabat masuk ke gereja dan mereka
shalat di dalamnya, seperti Abu Musa ra yang shalat di gereja Damaskus yang
bernama Nehya (Ibnu Abi Syaibah 4871).
> Perjanjian antara Umar ra dengan orang-orang Nasrani
yang terkenal dengan Piagam Al-Umariyah, di antara isinya adalah, “Bahwa gereja
kami tidak kami larang untuk disinggahi oleh salah satu dari orang Muslim baik
pada waktu malam maupun siang. Pintu gereja kami terbuka lebar bagi pejalan
kaki, perantau dan kami ajak bertamu bagi pejalan Muslim yang melewati kami dan
kami memberinya makan tiga malam,” (Al-Baihaqi 18717). Berkata Ibnu Qayyim rahimahullah,
“Terkenalnya syarat ini tidak perlu sandaran, karena para aimmah telah menerima
hal ini, dan mereka menyebutkannya dalam buku-buku mereka dan berdalil dengan
syarat-syarat ini. Syarat-syarat Umariyah ini terus disebut oleh lisan mereka
dan dalam kitab mereka (Ahkam Ahli Dzimmah 3/164).
> Ummahatul
Mukminin juga pernah mengunjungi gereja di Habasyah. Sebagian istri Rasulullah
saw menyebutkan bahwa gereja yang mereka lihat di Habasyah bernama gereja
Mariyah. Ummu Salamah dan Ummu Habibah, keduanya mengunjungi bumi Habasyah. Dan
keduanya memuji kecantikan bangunannya dan arsitek patung yang ada di dalamnya.
Maka Rasulullah pun mengangkat kepalanya dan bersabda, “Mereka, jika orang
saleh di antara mereka meninggal, maka mereka membangun masjid (tempat ibadah)
di atas kuburannya, kemudian mereka melukisnya (patung) dengan lukisan
tersebut, merekalah seburuk-buruk makhluk di hadapan Allah” (HR Bukhari 1341).
Rasulullah saw memungkiri perbuatan orang-orang Nasrani yang membuat patung dan
membangun bangunan di atas kuburan, dan tidak mengingkari apa yang dilakukan
Ummahatul Mukminin yang mengunjungi gereja tersebut.
Adapun atsar yang
dikomentari oleh Imam Bukhari dari Umar ra dari Abdul Razaq melalui Aslam budak
Umar ra yang berbunyi, “Saat Umar tiba di Sham, salah seorang pembesar Nasrani
(Kristen) menyiapkan makanan dan mengundang Umar, lalu Umar berkata,
'Sesungguhnya kami tidak memasuki gereja kalian dengan patung yang ada di
dalamnya (Abdul Razaq 1610).'”
Hal itu karena posisi
Umar ra sebagai khalifah kaum Muslimin, maka dikhawatirkan dengan masuknya Umar
ke gereja yang terdapat patung-patung di dalamnya, orang-orang akan mengira
bahwa tindakan Umar tersebut adalah pengakuan atas kesyirikan dan kebatilan
mereka. Karenanya Umar pada saat itu urung memasuki gereja.
Namun demikian, ulama menyebutkan beberapa kondisi seseorang
tidak boleh melakukan wisata dan kunjungan ke gereja, yaitu:
Ketika kunjungan bertepatan dengan hari raya mereka. Karena
kehadiran saat hari raya mereka, kita menjadi ikut dalam hari raya orang
non-Muslim, dan ini dilarang secara syar'i. Umar ra mengatakan dengan sanad
shahih, “Janganlah mengunjungi mereka di dalam gereja mereka pada hari raya
mereka, karena kemurkaan kepada mereka,” (Abdul Razzaq 1609).
Ketika para pengunjung diharuskan ikut serta dalam
peribadatan mereka, seperti meminta kepada para pengunjung untuk melakukan
sesuatu yang di dalamnya mengandung unsur pengaguman pada sembahan atau gereja,
seperti membuka (tutup) kepala, atau bernyanyi dan sebagainya.
Jika ada kekhawatiran terjadi fitnah bagi pengunjung,
seperti keraguan dalam hati orang-orang yang melihat atau mendengarnya, dan ini
banyak terjadi bagi anak-anak dan orang-orang yang tidak memiliki ilmu dan
keyakinan tentang hakikat kebatilan agama mereka.
Jika kehadiran pengunjung tanpa izin, mereka mengira
kehadiran Anda adalah bentuk penistaan terhadap ritual ibadah mereka.
Jika Anda memiliki posisi dan jabatan yang akan menimbulkan
fitnah dengan kunjungan Anda tersebut, dan orang-orang yang tak memiliki ilmu
akan mengira bahwa kunjungan Anda adalah pengakuan Anda atas ritual-ritual
agama mereka, sebagaimana dalam kisah Umar ra. Wallahu a'alam.
Sumbe : ummi-online.com