Bagikandakwah - Seorang pria bernama Fredy Candra mendadak
menjadi buah bibir publik. Dikabarkan bahwa dia telah melakukan sesuatu yang
dianggap oranglain ‘gila’.
Pengusaha kabel fiber optik bawah laut itu memberangkatkan
65 guru di Pekalongan, yang pernah mengajarnya, ke luar negeri, dengan uang
sendiri. Para guru itu diberangkatkan bukan untuk seminar atau lokakarya,
melainkan dipersilakan jalan-jalan selama lima hari di Malaysia dan Singapura.
Para guru itu mendapatkan fasilitas kelas satu. Yang lebih
hebatnya lagi ialah rombongan guru yang kebanyakan sudah uzur itu didampingi
dokter dan perawat khusus.
Pertama kali kisah Fredy tersebar melalui blog gurusiana
milik Kepala Sekolah SMAN 1 Pekalongan, Sulikin. Sulikin memberi judul artikel
dalam blognya itu “Muridku Gila“.
Melalui akun Facebooknya, Fredy Candra, Fredy menanggapi
tulisan Sulikin. Tulisannya diawali dengan kutipan kisah Kaisar Jepang,
Hirohito, ketika negaranya lumpuh total dan bertanya pada para pejabatnya
berapa jumlah guru yang tersisa saat itu.
“Betapa bernilainya seorang guru di mata Kaisar saat itu
sama seperti betapa bernilainya guru saat ini,” tulis Fredy.
Menurut Fredy, dia bukanlah seorang “murid gila” seperti
dalam tulisan Sulikin. Dia malah menyebut sebenarnya para guru itulah yang
“gila” .
“Bp guru Sulikin M.Pd mungkin “ khilaf” dan “ kurang
bercermin” ketika menulis bahwa saya “ murid gila”, jelas-jelas yang gila itu
adalah Bapak, Bapak Ibu guru SD Sampangan, SMPN1 dan SMAN1 saya yang secara “
sembrono” mengabdikan diri lebih dari separuh usianya dari muda beberapa sampai
pensiun, berusaha membuat saya sebagai salah satu muridnya dan banyak
murid-murid yang lain menjadi orang sukses dan berhasil,” tulis Fredy.
Fredy juga menyebut orang yang ” gila” sebenarnya adalah
para guru, baik di PAUD, madrasah, dan di kota. ” (Juga) di daerah dan daerah
terpencil dengan gaji pas-pasan dan herannya masih mau ngajar, itu baru
gila!!!” kata Fredy.
Kegilaan itulah, ujar Fredy, yang bisa membuatnya sukses
seperti saat ini. Sementara ulahnya mengajak jalan-jalan guru-guru itu hanyalah
wujud terima kasihnya.
Fredy pun merasa tidak layak mendapat pujian karena sudah
disanjung oleh Sulikin, yang kemudian menjadi viral. Dia merasa malu, karena
baginya yang layak mendapat pujian justru guru-gurunya.
“Saya harap saya cukup sebagai inspirasi saja dan tidak
lebih, juga kiranya teman-teman di medsos tidak lagi membahas Fredynya, dan
saya ingin mengembalikan pujian teman-teman kepada yang lebih layak menerimanya
yaitu Tuhan dan juga dalam hal ini guru-guru saya,” kata Fredy.
Melihat seorang guru seperti melihat sebuah masa depan cerah
yang telah dijanjikan untuk dunia ini. Ingatkah kita ketika Jepang pernah
hancur? Jepang saat itu lumpuh total, Kaisar Hirohito mengumpulkan semua
jendral masih hidup dan menanyakan kepada mereka “ Berapa jumlah guru yang
tersisa?”. Betapa bernilainya seorang guru di mata Kaisar saat itu sama seperti
betapa bernilainya guru saat ini. Jepang menjadi negara maju seperti saat ini
tak lepas dari pengaruh dan campur tangan guru.
Bp guru Sulikin M.pd mungkin “khilaf” dan “ kurang
bercermin” ketika menulis bahwa saya “murid gila”, jelas jelas yg gila itu
adalah Bapak, Bapak Ibu guru SD Sampangan, SMPN1 dan SMAN1 saya yg secara
“sembrono” mengabdikan diri lebih dari separuh usianya dari muda beberapa
sampai pensiun, berusaha membuat saya sebagai salah satu muridnya dan banyak
murid-murid yg lain menjadi orang sukses dan berhasil.
Yg “gila” itu adalah Bapak Ibu guru yg mengabdi di
sekolah-sekolah, madrasah, PAUD, baik di kota, di daerah dan daerah terpencil
dengan gaji pas pasan dan herannya masih mau ngajar, itu baru gila!!!
“Kegilaan” para guru itulah yg membuat saya ingin
menyampaikan rasa terima kasih kepada guru saya dengan mengajak berwisata
bersama, melalui tulisan Bp Sulikin beetajuk ” Muridku Gila” yg saya pikir “ ah
palingan bocor halus” eh malah “ mbledos” jadi viral dan ….. malah saya yg
dipuji (kalau guru yg memuji saya terima deh), dikasih sanjungan teman-teman
dan berbagai pihak “ …hebat kamu Fred..”, “ ….salut sama kamu…”, “ …kamu luar
biasa…”, beberapa hari ini saya mencoba dengan sekuat tenaga berusaha menerima
pujian-pujian itu, ngga tau bagaimana tapi mulai dari rasa segan sampai
perasaan malu selalu muncul tiap kali ada pujian disampaikan, tetapi pada
akhirnya hati nurani saya tidak bisa menerima sanjungan tersebut. Saya harap
saya cukup sebagai inspirasi saja dan tidak lebih, juga kiranya teman-teman di
medsos tidak lagi membahas Fredy nya, dan saya ingin mengembalikan pujian
teman-teman kepada yg lebih layak menerimanya yaitu Tuhan dan juga dalam hal
ini guru-guru saya.
Harusnya “ … hebat guru kamu Fred..” , ”…salut sama guru
kamu…”, “ … guru kamu yg itu top bgt ..”
Cukup bagi saya menjadi alumni yg bisa bahagia menikmati air
mata yg menetes ketika melihat foto-foto dan video gurunya yg tertawa lepas dan
bahagia menikmati waktu berwisata bersama-sama yg mungkin jarang didapat selama
aktif mengajar, saya bisa menangis terharu, saya bisa memeluk guru saya, ketawa
ketiwi, meminta selfie, memposting foto saya bersama guru, tanpa saya “
diganggu” oleh puja puji yg tidak sepatutnya saya terima, apalagi secara
akademis saya tidak pantas jadi panutan, asal tahu saja jenjang S1 pun saya
tidak lulus, dan akhirnya sekarang saya bekerja jadi seorang Sales Engineer di
sebuah perusahaan internet.
Saya tidak tahu apakah tulisan saya ini masih direwes,
diperhatikan atau tidak, mengingat tulisan di koran online sudah terlanjur
tersebar dan viral ke mana-mana, di mana saya yg malah menjadi subyeknya,
analoginya ada orang hampir tenggelam ditolong, eh malah yg disanjung bukan
penolongnya malah orang yg hampir tenggelam tsb yg disanjung, kan ngga lucu.
Sahabat dakwah, Mudah-mudahan melalui postingan ini
teman-teman bisa mengurangi pembicaraan mengenai saya, dan berbicara lebih
mengenai kenangan atau sesuatu yg berkesan selama diajar oleh para guru, atau
komentar saat guru berwisata, intinya subyeknya adalah “ THE TEACHERS” dan
bukan saya.
Pekalongan 27 Sept 2017
Sumber : inspiradata.com