Bagikandakwah – Sahabat dakwah, Salah satu bentuk kepedulian
terhadap orang lain adalah menanyakan kabar Seperti halnya menanyakan kondisi.
Bagaimana kondisimu? Adakah yang bisa saya bantu? Tapi tak jarang, jika salah
bertanya, sebentuk kepedulian tadi justru menjadi senjata yang menyakitkan.
Berbagai tulisan sudah sering menyinggung pertanyaan yang
tidak boleh diajukan kepada perempuan misal soal usia atau berat badan. Namun
sebenarnya masih ada beberapa soalan yang berpotensi melukai perasaan. Apa
sajakah?
Pertanyaan
Ke-1: Hamil Berapa Bulan?
Berjumpa kawan lama yang kamu tahu sudah menikah, melihatnya
dalam keadaan hamil, tentu membuatmu turut bahagia. Saking antusias tanpa
berpikir, kamu pun tak sabar melontarkan pertanyaan umum, “Eh, sudah hamil
berapa bulan?”
Sekilas terlihat positif. Masalahnya, jika ternyata sang
teman tidak hamil, apa yang terjadi? Pertanyaan tersebut seolah mengatakan,
“Meski tidak hamil penampakanmu seperti orang hamil!” Bayangkan kalau kita yang
menerima pertanyaan senada, pasti menyebalkan.
Saya sendiri pernah mengalami di awal usia pernikahan.
Setelah melahirkan berat badan rupanya tak kunjung turun. Suatu hari saya
bertemu sahabat suami yang dengan santai bertanya kepada suami, “Istri ente
hamil berapa bulan?” Wah, serasa ada palu godam di kepala.
Padahal sahabatnya bukan orang sembarangan, termasuk
pimpinan organisasi kemahasiswaan terbesar, bahkan saat ini punya posisi
penting di pemerintahan. Pernyataan yang keluar murni bentuk keakraban tapi
terasa melukai.
Kejadian yang saya alami membuktikan ini bukan persoalan
intelektual atau moral, tapi ketidak-tahuan potensi menyakitkan dari pertanyaan
itu yang membuat kalimat sedemikian menyebalkan bisa lahir dari orang baik,
sosok peduli, juga pintar.
Sekaligus membuktikan, pertanyaan tersebut bisa meninggalkan
sisa mendalam jika salah alamat. Buktinya kejadian dua puluh tahun lalu tetap
masih teringat.
Karena itu, kalau tidak tahu pasti, dan bukan lawan bicara
yang mengungkapkan kehamilan, maka jangan pernah bertanya “Sedang hamil berapa
bulan?”
Pertanyaan
Ke- 2: Anak Sudah Berapa?
Sering kan bertemu teman-teman lama saat reuni yang
bercerita akan pasangan masing-masing, dan tertawa bersama. Lalu mulai bicara
tentang anak-anak yang memicu pertanyaan satu sama lain.
Anak kamu berapa? Di luar dugaan pertanyaan itu pernah
membuat seorang teman berlinang. Rupanya ia sudah menikah belasan tahun, namun
belum dikaruniai anak.
Lontaran sederhana tersebut mampu mengakibatkan nyeri
mendalam. Mungkin karena selama ini ia selalu berusaha melupakan kesedihan
sebab belum dikaruniai keturunan. Pertanyaan barusan membuka kepedihan yang
selama ini berusaha dilupakan.
Saya sendiri baru-baru ini menjadi saksi. Tapi pelakunya
justru suami sendiri yang berjumpa teman lama di sebuah pesta pernikahan.
Seorang senior di media massa yang sudah dua puluh tahun tidak bertemu.
Kami berbincang tentang apa saja, politik, ekonomi, termasuk
masalah parenting. Ia juga antusias berbicara tentang anak-anak, pendidikan,
dan masa depan.
Si teman lalu bertanya bagaimana anak-anak kami. Saya dan
suami pun bercerita panjang lebar. Menunjukkan antusiasme yang sama, suami
bertanya balik jumlah anak sang kawan. Mendengarnya, mata sang teman sedikit
berkabut, “Saya termasuk salah satu yang belum dipercaya untuk mengemban amanah
mempunyai anak.” Kontan suami terdiam.
Memang bukan situasi mudah. Jika tidak bertanya balik,
terasa egois sebab hanya bercerita soal anak sendiri. Di lain pihak, pasti
menyakitkan jika sang teman masih dalam masa menanti momongan.
Lalu, bagaimana sikap yang tepat? Mungkin kalimat yang
netral adalah, kamu sendiri bagaimana? Dengan harapan si teman akan menjawab,
“Anak? Oh saya belum punya.” Setidaknya bukan kita yang memicu situasi tidak
nyaman.
Intinya, saat bertemu teman lama, daripada memberi
pertanyaan yang merusak suasana, lebih baik tahan keinginan mencari tahu urusan
nikah, pasangan, atau keluarga, kecuali mereka membukanya sendiri. Karena bisa
saja yang ditanya belum menikah, sudah bercerai, belum punya anak, anaknya
meninggal, dan banyak kemungkinan pertanyaan yang diajukan malah menimbulkan
kesedihan.
Pertanyaan
Ke- 3: Kapan Nikah?
Hindari mengajukannya terutama pada perempuan. Melihat gadis
berusia di atas dua puluh tahun dan belum nikah, ringan saja lisan bertanya.
Kadang sekedar kepo, kadang itu cara memberi semangat, tapi percayalah
sekalipun niatnya baik akan menyakitkan.
Asumsinya setiap perempuan punya keinginan menikah, terlebih
saat usia sudah cukup. Tapi sebagian besar kaum hawa, terutama di Indonesia
atau budaya timur, harus menanti untuk mendapat pasangan. Berbeda dengan
laki-laki, keputusan ini tidak berada 100% di tangan mereka.
Ada yang bertahun-tahun belum mendapatkan pasangan. Ada yang
calonnya tidak diizinkan orang tua. Sebagian sudah siap menikah baik secara
mental atau materi namun terkesan terlalu mapan hingga lelaki takut mendekat,
dan banyak alasan lain. Dari waktu ke waktu mereka pasti sudah berusaha
menghibur diri sendiri. Oleh sebab itu pertanyaan kapan menikah? hanya akan
teramat menyakitkan.
Pertanyaan
Ke-4: Kapan Punya Momongan?
Ini juga pertanyaan yang tidak pantas dan menimbulkan pedih.
Pertama bukan manusia yang menentukan kapan punya anak. Kedua, jika ini
ditanyakan pada pasangan yang sudah begitu lama menanti buah hati, bahkan
berkali-kali periksa ke dokter agar punya keturunan.
Panjang lebar terkait kata dan akhlak seseorang khususnya
muslimah, sempat saya tulis di buku Jangan Jadi Muslimah Nyebelin. Berpikir
sebelum bicara, menimbang dengan cermat sebelum bertindak, agar kata dan laku
tak perlu menyebabkan bongkah kesedihan yang susah payah ditenggelamkan dalam
ingatan, kembali muncul ke permukaan.
Sahabat dakwah, semoga kita dihindarkan
pertanyaan-pertanyaan yang bisa menyinggung/menyakiti perasaan oranglain. Semoga
bermanfaat
Sumber: islamidia.com