Bagikandakwah – Sahabat dakwah, Berikut kami akan mengulas
tentang hukum gadai dalam kacamata Islam. Sesungguhnya Alloh Ta’ala menjelaskan
berbagai hukumNya baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Terkandung di dalamnya
kemaslahatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Alloh telah mengatur
manusia dengan aturan baku, penuh hikmah dan tidak ada kezhaliman yang timbul
darinya.
Sehingga terciptalah kerukunan, kedamaian dan
terselesaikanlah pertikaian dan perselisihan sesama manusia ketika
memperebutkan hak masing-masing.
Di antara aturan tersebut, Alloh mengatur bagaimana manusia
tukar menukar barang yang saling mereka butuhkan dan tidak membiarkan manusia
memenuhi kebutuhannya menurut hawa nafsunya – yang memang diantara tabiat
manusia ialah suka berbuat zhalim terhadap sesama kecuali mereka yang dirahmati
Alloh Ta’ala.
Alloh menjelaskan jalan-jalan menuju keridhaanNya dan
menutup segala jalan menuju kemurkaanNya. Sebagai satu bukti, ketika seseorang
tidak mempunyai harta/uang – sedangkan dia sangat membutuhkannya – maka dia
boleh meminjam harta/uang kepada orang lain baik dengan jaminan atau tanpa
jaminan, demi terpenuhi kebutuhan yang diinginkannya. Adapun barang yang
dijadikan jaminan itu disebut barang gadai.
Berikut ini kami jelaskan sedikit masalah “gadai” menurut
pandangan Islam dengan merujuk kepada nash-nash / dalil-dalil yang shahih dan
pendapat para ulama, diantaranya empat madzhab yang telah kita kenal. Semoga
Alloh memudahkan dan menjadikan manfaat bagi kita semua.
Makna
Gadai
Makna gadai secara etimologi / bahasa adalah “tertahan”
sebagai mana dalam satu ayat al-Qur’an:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap jiwa tertahan (untuk mempertanggungjawabkan) atas
apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 38)
Atau bermakna “diam tidak bergerak”, sebagaimana dikatakan
para ahli fiqh:
“Haram bagai seseorang kencing di air yang rahin, yaitu air
yang tidak bergerak”
Makna gadai menurut istilah ahli fiqh adalah “barang yang
dijadikan sebagai jaminan hutang apabila tidak dapat melunasinya”. (Lihat
Fathul Bari 5/173, al-Mughni 6/443, Aunul Ma;bud 9-10 / 319)
Hukum
Gadai Dalam Islam
Para ulama bersepakat, hukum gadai secara umum
diperbolehkan. Ini didasari beberapa dalil, di antaranya:
Dalil Dari al-Qur’an
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ …
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan sedang bertransaksi
tidak secara tunai), sedang kamu tidak mendapati penulis, maka hendaklah ada
barang gadai (tanggungan) yang dipegang …” (QS. Al-Baqarah: 283)
Dalil
Dari Sunnah
“Dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwasanya Nabi Shollallahu
‘Alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi, kemudian beliau
menggadaikan perisai perangnya.” (HR. Bukhari 3/73, 81, 101, 186, 187, Muslim 3
/ 1226)
Dibolehkan
Ketika Safar dan Tidak Ada Safar
Dari dalil-dalil di atas, dan masih benyak lagi
hadist-hadist lain, menunjukkan bolehnya pegadaian baik ketika bepergian /
safar ataupun tidak dalam bepergian. Ibnul Mundzir mengatakan,
“Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal
tersebut kecuali Mujahid saja yang mengatakan pegadaian hanya boleh ketika
safar”.
Adapun zhahir ayat yang disebutkan di atas (yaitu bolehnya
pegadaian untuk orang yang bepergian / safar saja), maka penyebutan bepergian
atau safar tersebut karena sering terjadi dan biasanya tidak dijumpai seorang
penulis hutang adalah ketika safar, dan ini tidak meniadakan bolehnya pegadaian
ketika tidak safar.
Bolehnya pegadaian ketika tidak safar dikuatkan pula oleh
zhahir hadist Aisyah Radhiyallahu’anha yang mengatakan bahwa Nabi Shollallahu
‘Alaihi Wasallam menggadaikan perisai perangnya ketika beliau sedang berada di
Madinah ; ini menunjukkan Nabi melakukannya ketika tidak sedang safar.
Dan boleh nya pegadaian ketika sedang safar dan tidak safar
dikuatkan oleh makna gadai itu sendiri yang artinya adalah “barang yang
dijadikan sebagai jaminan hutang”. Ini adalah isyarat inti dari pegadaian ialah
untuk jaminan, sama saja ketika safar atau tidak safar (Lihat al-Mughni 6/444,
Fathul Bari 5/173-174, al-Majmu’ 1/305, Bidayatul Mujtahid 2/271, al-Muhalla
bil Atsar 6/362)
Barang
yang Boleh Digadaikan
Segala sesuatu yang boleh diperjualbelikan maka boleh
dijadikan barang gadai / jaminan, sehingga apa saja yang tidak boleh
diperjualbelikan maka tidak boleh digadaikan.
Hal ini dikarenakan maksud menggadaikan sesuatu adalah untuk
jaminan apabila tidak dapat melunasi hutangnya, sehingga apabila penggadai
(pemilik barang) tidak bisa melunasi hutangnya, maka barang tersebut bisa
dijual untuk melunasi hutang tersebut, dan ini akan terwujud dengan barang yang
bisa diperjualbelikan. ( ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul Mustawni’, Manshur bin
Yunus al- Bahuti, hal. 364)
Oleh karena itu, seandainya sesorang ingin meminjam uang
kemudian menggadaikan anaknya, maka ini tidak diperbolehkan karena anak tidak
boleh diperjualbelikan. Sebagaimana hadists yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Ada tiga
golongan yang dibantah oleh Alloh pada hari kiamat.” Diantara tiga golongan
tersebut, Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan:
Dan (Alloh akan membantah) seorang yang menjual (orang) yang
merdeka dan memakan hasil penjualannya. (HR. Bukhari 4/447 no. 2270)
Seandainya seseorang ingin meminjam uang dan menggadaikan
hewan-hewan piaraan yang haram hukumnya seperti anjing dan babi, maka ini tidak
diperbolehkan karena anjing dan babi tidak boleh diperjualbelikan lantaran
barang yang haram tidak boleh diperjualbelikan. Hal ini didasari oleh sebuah
hadist Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam :
Sesungguhnya Alloh apabila mengharamkan sesuatu, pasti
mengharamkan harga (jual beli)nya. (Hadist ini dishahihkan al-Albani dalam
Ghayatul Maram)
Seandainya seseorang menggadaikan sebuah rumah padahal rumah
ini adalah rumah wakaf, maka penggadaian ini tidak sah karena sesuatu yang
telah diwakafkan tidak boleh dijual. Sebagaimana hadist yang menjelaskan
tentang hal itu, Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Tidak boleh dijual barang asal (yang diwakafkan) tidak boleh
dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. (HR. Bukhari 2737, Muslim 1632, Tirmidzi
1375 dari hadist Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu)
Dari contoh-contoh di atas, dapat kita ketahui bahwa setiap
barang yang bisa / boleh diperjualbelikan maka boleh dijadikan barang gadai.
Siapa
Pemegang Barang Gadai?
Pada dasarnya, yang berhak memegang barang gadai adalah yang
meminjami sesuatu kepada penggadai barang, karena barang gadai tersebut adalah
sebagai jaminan hutang yang ia berikan kepada si peminjam.
Dan ini (pemegangan barang) dilakukan oleh orang yang
meminjami sesuatu kepada penggadai, apabila kedua pihak sama-sama rela dan
merasa tsiqah/percaya satu sama lain.
Akan tetapi, seandainya salah satu dari mereka merasa tidak
aman dan tidak rela barangnya dipegang oleh orang yang meminjami sesuatu tadi, maka
barang tersebut dipegang oleh pihak ketiga yang telah disepakati oleh kedua
bealh pihak (peminjam yang menggadaikan barangnya dengan orang yang meminjami
sesuatu tersebut). (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ 9/82, dengan
penyesuaian)
Antara
Harga Barang dan Besarnya Hutang
Dari definisi dan penjelasan makna gadai di atas, kita bisa
mengetahui bahwa barang yang digadaikan adalah sekedar jaminan hutang apabila
tidak dapat melunasi hutangnya, dan barang gadai tidak harus menjadi pengganti
hutang tersebut, sehingga tidak harus sama atau seimbang antara harga barang
dengan jumlah hutangnya, bahkan boleh kurang atau lebih apabila kedua belah
pihak rela (suka sama suka).
Dan apabila orang yang berhutang tidak dapat melunasi
hutangnya, maka pemegang barang gadai tersebut berhak menuntut pembayaran
hutangnya dan boleh menahan barang tersebut sampai hutangnya dibayar, karena
barang tersebut berstatus milik penggadai barang. (Lihat al-Mabsuth 21/63,
al-Bada’i 6/145)
Bolehkah
Barang Gadai Dimanfaatkan Oleh Pemegang Barang?
Jumhur (mayoritas) ulama, begitu pula semua imam madzhab
empat kecuali madzhab Hanbali bersepakat bahwa barang yang sedang digadaikan
tidak boleh dimanfaatkan oleh pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik
barang.
Hal ini disebabkan karena pemegang barang tidak memilikinya,
bahkan barang tersebut sekedar amanah, sehingga tidak berhak memanfaatkannya.
Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam:
Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan
dari (pemilik)nya. (Hadist shahih, dishahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dh’if
Jami’ush Shaghir no. 7662 dan Irwa’ul Ghalil no. 1761, 1459)
Apabila
Menjual Barang Gadai Tanpa Seizin Pemiliknya
Seandainya pemegang barang terlanjur memanfaatkannya, serta
menjual atau menyewakannya tanpa seizin pemiliknya, maka menurut Imam Syafi’i
dan Imam Hanbali penjualan dan sewa-menyewa tersebut batal dan tidak sah.
Adapun menurut Imam Hanafi dan Imam Malik, penjualan dan sewa menyewa tersebut
hukumnya tergantung kepada pemilik barang, apabila ketika pemilik barang
mengetahui kemudian menyetujui, maka sah penjualan atau sewa menyewa itu,
apabila tidak maka batal dan tidak sah.
Pendapat terakhir inilah
(Imam Hanafi dan Imam Malik) yang kuat dengan dasar sebuah hadist yang
dikeluarkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya seorang sahabat bernama Urwah
al-Bariqi Radhiyallahu’anhu pernah dititipi Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam satu dinar untuk membeli satu ekor kambing qurban, lalu Urwah pergi ke
pasar hewan membeli dua ekor kambing seharga satu dinar, kemudian sebelum
kembali kepada Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam ia menjual satu ekor kambing
seharga satu dinar, lalu datang kepada beliau membawa satu ekor kambing dan
uang satu dinar, dan tatkala Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahuinya,
beliau tidak mengingkarinya, bahkan Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam
menyetujui dan mendo’akan keberkahan buat Urwah. Hadist ini menunjukkan apabila
seorang menjual atau membeli sesuatu tanpa persetujuan pemiliknya yang sah,
kemudian pemiliknya yang sah ketika tahu lalu menyetujuinya, maka sah transaksi
tersebut, dan apabila tidak menyetujui maka batal dan tidak sah.
Kerugian
dan Keuntungan yang Timbul Dari Barang Gadai
Adapun kerugian atau keuntungan yang muncul dari barang yang
sedang digadaikan dan sedang berada di tangan pemegang barang, maka semuanya
dikembalikan kepada penggadai (pemilik barang) yang asli.
Hal ini lantaran keuntungan dan kerugian / berkurangnya
barang tersebut adalah cabang dari pokoknya, sehingga dikembalikan kepada
pokoknya – yaitu barang gadai – dan dikumpulkan menjadi satu dengan barang
gadai serta tetap menjadi hak milik penggadai (pemilik barang). Ini merupakan kesepakatan
ahli fiqh dari berbagai kalangan madzhabnya masing-masing, hal ini didasari
sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam :
Tidak boleh ditutup/ dihalangi barang yang digadaikan bagi
pemiliknya yang menggadaikannya, keuntungan dan kerugian adalh haknya
(penggadai/pemilik barang)
Misalnya; seorang meminjam uang kepada orang lain,kemudian
menggadaikan seekor kambing betina yang sedang hamil. Tatkala penggadai mau
melunasi hutangnya dan mengambil barang yang digadaikan tadi, ternyata kambing
miliknya telah melahirkan tiga ekor, dan dari tiga ekor tadi melahirkan
sembilan ekor, sehingga kambing-kambing itu berjumlah tiga belas ekor, maka
semua kambing tadi termasuk barang gadai dan tetap hak milik penggadai barang.
Dan begitu pula sebaliknya, seandainya ternyata kambing yang
sedang hamil tadi mati tanpa adanya faktor kesenjangan dari pemegang barang,
maka kerugian tersebut dikembalikan kepada pemilik barang, dan tidak menjamin
kerugian karena tidak ada unsur kesenjangan.
Pada
Asalnya yang Menanggung Biaya Perawatan Selama Digadaikan Adalah Pemilik Barang
Apabila barang gadai membutuhkan biaya perawatan seperti
hewan yang membutuhkan biaya makan, minum dan yang lainnya, maka biaya ini pada
asalnya ditanggung oleh penggadai (pemilik barang), karena pemilik barang pada
asalnya menganggung semua kerugian dan memiliki semua hasil keuntungan yang
timbul dari barangnya.
Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sebuah tokonya yang
besar, sedangkan situasi di tempat tersebut tidak aman dan sangat dikhawatirkan
adanya para pencuri yang akan mencuri di toko tersebut, maka pemegang toko
boleh menyewa para penjaga toko/satpam untuk menjaga agar toko terebut selamat
dari gangguan pencuri, dan yang menanggung biaya sewa satpam adalh penggadai
(pemilik toko) itu.
Boleh Memanfaatkan
Barang Gadai Sekedar Pengganti Biaya Perawatan
Apabila barang yang digadaikan bisa dimanfaatkan, sedangkan
barang terebut membutuhkan biaya perawatan, dan pemilik barang tidak memberi
biaya perawatannya, maka pemegang barang boleh memanfaatkannya, akan tetapi
hanya sebatas / seimbang dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
memelihara barang tersebut, hal ini didasari oleh satu hadist:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata bahwa Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Punggung (hewan yang dapat ditunggani)
boleh ditunggangi sebatas pengganti biaya yang telah dikeluarkan, dan air susu
(hewan yang bisa diperah susunya) boleh diminum sebatas biaya yang telah
dikeluarkan apabila (hewan-hewan tersebut) sedang digadaikan, serta yang menunggangi
dan yang minum susunya harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya” (HR. Bukhari
2511, 2512)
Hadist di atas menunjukkan, pemegang barang berhak
memanfaatkan barang gadai sebatas pengganti biaya yang dikeluarkan untuk
perawatan barang gadai, seperti biaya makan dan minum setiap hari dan lainnya.
(Lihat Subulus Salam al-Mushilah ila Bulughil Maram 5/161)
Dari hadist di atas bisa kita ketahui bahwa bolehnya
memanfaatkan barang gadai tersebut membutuhkan biaya perawatan. Sedangkan
barang gadai yang tidak membutuhkan biaya perawatan selama digadaikan seperti
perhiasan, alat-alat rumah tangga dan lainnya tidak boleh dimanfaatkan oleh
pemegang barang kecuali dengan seizin pemilik barangnya, sebagaimana penjelasan
yang telah lalu.
Dan dari hadist di atas pula (dari perkataan “sebatas biaya
yang dikeluarkan”), bahwa bolehnya pemegang barang memanfaatkan barang gadai
dengan syarat harus seimbang antara pemakaian/pemanfaatan barang dengan biaya
yang dikeluarkan untuk biaya perawatan barang tersebut, dan tidak boleh berlaku
zhalim atau sampai membahayakan barang gadai tersebut.
Misalnya; apabila seseorang menggadaikan sapi perahnya
kepada orang lain, maka boleh bagi pemegang barang memerah susu sapi tersebut
dan memanfaatkan susunya sebatas pengganti biaya perawatan sapi perah itu.
Apabila biaya perawatannya selama seminggu adalah sebesar Rp
100.000 sedangkan hasil perahan susunya selama satu minggu adalah Rp 150.000,
maka pemegang barang hanya berhak mengambil yang seimbang dengan biaya
perawatannya yaitu Rp. 100.000. kemudian pemegang barang harus mengembalikan
lebihnya yaitu Rp 50.000 kepada pemilk barang gadai karena ini adalah haknya.
(asy-Syahrul Mumti’ 9/97, dengan perubahan angka dan penyesuaian)
Apabila
Jatuh Tempo Pembayaran Hutang
Apabila telah datang waktu (jatuh tempo) yang disepakati
untuk pembayaran hutang, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
Apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan penggadai
(pemilik barang) telah mendapati / mempunyai harta untuk melunasi hutangnya,
maka dia harus bersedia membayar hutangnya, dan mengambil kembali barang gadai
yang telah dijadikan sebagai jaminannya. Karena inilah kewajiban setiap orang
yang mempunyai tanggungan, menepati perjanjian dan tidak mengingkarinya,
sebagaimana firman Alloh berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad perjanjian
kalian! (QS. al-Maidah [5] : 1)
Apabila penggadai (pemilik barang) tidak bisa melunasinya
disebabkan ketidakmampuannya, maka disyari’atkan bagi pemegang barang untuk
bersabar menunggu sampai penggadai (pemilik barang) mampu dan bisa membayar
hutangnya, sedangkan penggadai (pemilik barang) harus berusaha mendapatkan
harta untuk melunasi hutangnya karena ini merupakan tanggungannya. Firman Alloh
Ta’ala :
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan (QS. al-Baqarah [2] : 280)
Dan pemilik barang masih mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan kembali barang yang digadaikan, dan barang tersebut masih tetap hak
milik penggadai sebagaimana sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah
lalu.
Ibnu Atsir mengatakan , “Termasuk perbuatan kaum jahiliyah,
apabila penggadai/pemilik barang tidak mampu melunasi hutangnya, maka secara
otomatis barang tersebut menjadi milik pemegang barang. Agama Islam membatalkan
anggapan seperti ini”
Akan tetapi apabila pemegang barang ingin menarik / menuntut
haknya karena dia membutuhkannya – misalnya – maka dia berhak menuntut haknya
supaya pemilik barang bersedia menjual barang yang digadaikan tersebut, dan
hasil penjualan barang gadai dipakai untuk melunasi hutangnya.
Apabila penggadai (pemilik barang) tidak mau melunasi
hutangnya padahal dia dalam keadaan lapang atau mampu untuk melunasi hutangnya,
maka hakimlah yang menghukumi masalah ini. Dan barang gadai harus dijual lantas
hasil penjualannya dipakai untuk melunasi hutangnya, walaupun penggadai atau
pemilik barang tidak rela barangnya dijual. Hal ini telah disepakati oleh para
fuqoha (ahli fiqh) (Lihat Kasyful Qana’ 3/330, al-Fiqhul Islami 5/275 )
Apabila
Pemilik Barang Gadai Rusak/Hilang di Tangan Pemegang Barang
Apabila barang gadai rusak/hilang di tangan pemegang barang
gadai tersebut, maka pemegang barang tidak menanggungnya, dan yang menanggung
adalah pemilik barang (penggadai barang) itu sendiri, kecuali apabila ada unsur
kesengajaan yang dilakukan oleh pemegang barang.
Hal ini didasari oleh sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam yang telah lalu, yaitu :”keuntungan dan kerugian adalah haknya
(penggadai / pemilik barang)”.
Dan didasari pula karena barang yang ada di tangan pemegang
adalah amanah, maka barang tersebut tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan
seizin pemiliknya yang sah; sedangkan orang yang diberi amanah tidak menanggung
kerusakan kecuali jika ada unsur kesengajaan.
Juga dikarenakan orang yang memegang amanah afalah orang
yang berbuat baik kepada sesamanya sehingga tidak ada jalan menyalahkannya
kalau dia tidak menyengaja. Alloh berfirman:
Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang
berbuat baik, dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. at-Taubah [9]
: 91)
Misalnya; seseorang menggadaikan mobilnya kepada si fulan,
kemudian si fulan menggunakan mobil ini untuk mengangkut penumpang tanpa seizin
penggadainya. Sehingga dalam jangka waktu sekian lama, mobil itu rusak dan
membutuhkan biaya perbaikan yang besar. Maka si fulan harus menanggung semua
biaya perbaikan mobil tersebut karena ada unsur kesengajaan dirinya atas
terjadinya kerusakan mobil tersebut.
Misal lain; seandainya pada permisalan di atas tadi si fulan
tidak menggunakan mobil itu, bahkan menyimpannya di tempat yang selayaknya,
kemudian datanglah seorang pencuri pada malam hari dan mencuri mobil gadai
tersebut, maka si fulan tidak menanggung kehilangan mobil tersebut karena tidak
ada unsur kesengajaan dari si fulan (pemegang barang) ini.
Demikian pembahasan pegadaian menurut Islam. Mungkin masih
ada poin-poin yang belum terbahas dan kurang sempurna, atau belum mencakup
semua sistem pegadaian yang ada di tanah air kita.
Perlu diingat, hukum yang kami sebutkan dalam pembahasan ini
(diperbolehkannya pegadaian) adalah yang sesuai dengan syari’at Islam berikut
syarat-syarat yang telah kami sebutkan di atas. Adapun sistem pegadaian yang
ada di tanah air kita, maka tidaklah bisa dihukumi secara umum diperbolehkan,
terutama apabila didalamnya ada sistem-sistem yang menyelesihi syari’at Islam.
Sahabat dakwah, Demikianlah pembahasan tentang gadai, semoga
menjadi ilmu yang bermanfaat. Wallohu A’lam.
Oleh: Abu Ibrahim Muhammad Ali
Sumber: abusalman1430.wordpress.com