Bagikandakwah – Sahabat dakwah, Islam yang ajarannya sejalan
dengan fitrah manusia mewajibkan seorang suami untuk menanggung kebutuhan hidup
seorang istri serta anak-anaknya. Keistimewaan fisik dan psikis laki-laki serta
kewajiban memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya melahirkan hak-hak suami
yang harus dipenuhi oleh seorang istri.
Suami sebagai pemimpin wajib ditaati oleh istrinya dalam
semua aspek, selama tidak bertentangan dengan agama. Namun bukan berarti
kepemimpinan yang telah dianugerahkan oleh Allah swt kepada seorang suami
memperbolehkan ia bertindak sewenang-wenang; bertindak sesuka hati tanpa
memerhatikan hak-hak seorang istri.
Begitu pula seorang istri, kewajiban mendengarkan dan menaati perintah suaminya
jangan sampai diabaikan; dan jangan pernah merasa bahwa dirinya dikekang.
Namun kadang kepemimpinan yang seharusnya disyukuri malah
disalah artikan dengan memperlakukan istri secara tidak manusiawi dan
menganggap ia budak yang selalu tunduk di bawah kekuasaannya.
Begitu juga halnya dengan istri, kewajiban menaati suami
kadang malah dianggap bahwa dirinya telah diperbudak dan merasa tidak
bermartabat.
Sehingga seorang istri menuntut kebebasan tanpa adanya
aturan dari seorang suami. Maka dari itu jelaslah bahwa nusyuz (pembangkangan)
itu bisa saja dilakukan oleh suami dan bisa pula dilakukan oleh istri.
Pada saat suami melalaikan kewajiban kepemimipinannya istri
hendaknya meminta secara baik-baik kepada suami agar ia memenuhi hak-hak yang
sudah ditinggalkannya.
Begitu juga halnya dengan suami, ketika perintahnya
ditanggapi dengan pembangkangan, hendaklah ia berbicara secara baik-baik,
dengan lemah lembut tanpa adanya kekerasan.
Perlu diingat, meskipun suami dianugerahi kepemimpinan yang
harus dipatuhi oleh istri, tetapi Islam tidak memperbolehkan suami
memperlakukan istrinya semena-mena. Bukankah musyawarah merupakan anjuran
Al-Quran dalam menyelesaikan setiap problem? termasuk problematika rumah
tangga.
Kalau titik temu tidak diperoleh dalam musyawarah dan
seorang suami yang semestinya ditaati istrinya dihadapi olehnya dengan nusyuz,
keangkuhan, dan pembangkangan maka ada tiga langkah yang dianjurkan untuk
ditempuh suami demi mempertahankan mahligai pernikahan dan mengembalikan
keharmonisan rumah tangga. Ketiga langkah tersebut sebagaimana telah diajarkan
dalam Al-Quran sebagai berikut:
وَاللاَّتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعَظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِى المَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
Artinya: Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya
maka nasihatilah mereka; tinggalkanlah mereka di tempat tidur mereka; dan
pukullah mereka (QS. An-Nisa’: 34)
Langkah pertama yaitu dengan cara menasihatinya dengan
perkataan lemah lembut; mengingatkan istri bahwa hal yang demikian akan
menyebabkan gugurnya kewajiban suami untuk memberi nafkah, dan ia akan dimurkai
Allah swt.
Jika sudah dinasihati, namun perilaku istrinya tetap seperti
semula maka Al-Quran memerintahkan cara kedua, yaitu dengan menceraikan istri
di tempat tidur (pisah ranjang).
Al-Quran menyuruh suami menceraikan istrinya di tempat
tidur, tetapi tidak berarti suami harus meninggalkannya di rumah; meninggalkan
tempat tidur yang biasa mereka tiduri bersama.
Yang dimaksud pisah ranjang adalah suami menghindari
hubungan sek-sual saja. Pasangan yang berjauh-jauhan ketika diterpa
kesalahpahaman, perbuatannya itu dapat melebarkan jurang perselisihan.
Hendaknya perselisihan yang terjadi jangan sampai diketahui
oleh orang lain, bahkan anak-anak dan anggota keluarganya sekalipun. Semakin banyak
orang yang mengetahuinya maka perselisihan itu menjadi semakin sulit untuk
diselesaikan.
Keberadaan di kamar
membatasi perselisihan itu untuk tidak sampai terdengar keluar. Karena
keberadaan dalam kamar adalah untuk menunjukkan ketidaksukaan suami akan
kelakuan istrinya maka yang dilakukan adalah hal-hal yang menunjukkan
ketidaksukaannya itu.
Jika seorang suami berada dalam kamar dan tidur bersama
istrinya, namun tidak ada cumbu rayu; tidak ada kata-kata manis; dan tidak ada
hubungan se'ks maka hal itu menunjukkan bahwa istri tidak lagi berkenan di hati
suaminya.
Pada saat itu wanita akan merasa bahwa senjata ampuhnya
(daya tarik kecantikannya) tidak lagi manjur untuk membangkitkan gairah
suaminya. Nah, ketika itulah diharapkan istrinya dapat menyadari kesalahannya.
Ketika itu pula diharapkan terciptanya keadaan yang lebih baik, yang merupakan
tujuan dari adanya hajru (meninggalkan hubungan sek'sual).
Adapun langkah ketiga yang bisa ditempuh oleh seorang
laki-laki yang istrinya berbuat nusyuz adalah dengan cara memukulnya. Ini
merupakan langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga dalam upaya memelihara
keutuhan rumah tangganya.
Namun perkataan memukul jangan sampai dipahami dengan arti
menyakiti. Jangan pula dianggap sebagai perbuatan yang penting. Rasulullah
mengingatkan kita agar tidak memukul wajah dan tidak pula menyakiti.
Pada kesempatan lain rasulullah bersabda, “Tidakkah kalian
malu memukul istri seperti kalian memukul keledai?” Merasa malu disebabkan
memukul istri. Juga malu karena gagal mendidiknya dengan nasihat dan cara lain.
Perlu juga disadari bahwa dalam kehidupan berumah tangga
pasti ada saja nasihat atau sindiran yang tidak mempan bagi istrinya. Nah,
ketika itulah suami diperbolehkan memukul istri yang sedang membangkang, dengan
syarat pukulan itu tidak sampai mencederainya.
Tidak juga pukulan itu ditujukan kepada kalangan yang
menilai pemukulan sebagai suatu penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat.
Sebab pemerintah mengancam akan menjatuhi hukuman atau menuntut suami atas
tindakan yang telah dilakukannya terhadap istri.
Sebagai antisipasi agar tidak berkembang luasnya
tindakan-tindakan yang merugikan istri, khususnya di kalangan para suami yang
tidak memiliki moral. Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kalian yang
sudah berumahtangga.
Sumber: ngajionline.net