Bagikandakwah - Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 100 menjelaskan bahwa tidaklah sama kwalitas antara harta haram dengan harta halal, sekalipun harta yang haram begitu menakjubkan banyaknya. Sekali lagi tidaklah sama antara harta halal dengan harta haram. Harta haram dalam ayat di atas, Allah sebut dengan istilah khabits.
Kata khabits menunjukkan sesuatu yang menjijikkan, seperti kotoran atau bangkai yang busuk dan tidak pantas untuk dikonsumsi karena akan merusak tubuh: secara fisik maupun mental. Tidak ada manusia yang mau memakan kotoran dan yang busuk. Sementara harta halal disebut dengan istilah thayyib, artinya baik, menyenangkan dan sangat membantu kesehatan fisik dan mental jika dikonsumsi.
Secara mentalitas dan psikologis harta mampu memengaruhi hati manusia. Harta haram apapun bentuknya yang diperoleh dari hasil mencuri, merampok, menipu, korupsi, illegal loging, riba, suap dan lain sebaginya, hanya akan menuntun pemiliknya untuk menjadi rakus dan kejam. Mengalami kebutaan hari nurani karena tidak mampu lagi membedakan mana harta yang baik dan tidak baik. Hanya hewanlah yang berperilaku demikian, memakan apa saja yang ada di hadapannya tanpa peduli siapa pemilik dari makanan tersebut.
Seorang yang terbiasa mengonsumsi harta haram jiwanya akan meronta-ronta. Merasa tidak tenang, tanpa diketahui sebabnya. Kegelisahan demi kegelisahan akan terus menyeretnya ke lembah yang semakin jauh dari Allah. Lama kelamaan ia tidak merasa lagi berdosa dengan kemaksiatan. Berkata bohong menjadi akhlaknya. Ia merasa tidak enak kalau tidak berbuat keji. Karenanya tidak mungkin harta haram -sedikit apalagi banyak- mengandung keberkahan. Allah sangat membenci harta haram dan pelakunya. Seorang yang terbiasa menikmati harta haram doanya tidak akan Allah terima: Rasulullah SAW pernah menceritakan bahwa ada seorang musafir, rambutnya kusut, pakaiannya kumal, menadahkan tangannya ke langit, memohon: “Yaa rabbi yaa rabbi, sementara pakaian dan makanannya haram, mana mungkin doanya diterima,” (HR. Muslim).
Ternyata harta
haram punya dampak jelek yang luar biasa.
اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah
cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan
cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR.
Tirmidzi, no. 3563; Ahmad, 1:153; dan Al-Hakim, 1:538. Hadits ini dinilai hasan
menurut At-Tirmidzi. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy menyetujui hasannya
hadits ini sebagaimana dalam Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin,
2:509-510).
Dan ingat rezeki
yang halal walau sedikit itu pasti lebih berkah. Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul
Halim bin Taimiyyah Al-Harrani (661-728 H) rahimahullah pernah berkata,
وَالْقَلِيلُ مِنْ الْحَلَالِ يُبَارَكُ فِيهِ وَالْحَرَامُ الْكَثِيرُ يَذْهَبُ وَيَمْحَقُهُ اللَّهُ تَعَالَى
“Sedikit dari yang
halal itu lebih bawa berkah di dalamnya. Sedangkan yang haram yang jumlahnya
banyak hanya cepat hilang dan Allah akan menghancurkannya.” (Majmu’ah
Al-Fatawa, 28:646)
Dalam mencari
rezeki, kebanyakan kita mencarinya asalkan dapat, namun tidak peduli halal dan
haramnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh-jauh hari sudah mengatakan,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
“Akan datang suatu
zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta,
apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Akhirnya ada yang
jadi budak dunia. Pokoknya dunia diperoleh tanpa pernah peduli aturan. Inilah
mereka yang disebut dalam hadits,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celakalah wahai
budak dinar, dirham, qothifah (pakaian yang memiliki beludru), khomishoh
(pakaian berwarna hitam dan ada bintik-bintik merah). Jika ia diberi, maka ia
rida. Jika ia tidak diberi, maka ia tidak rida.” (HR. Bukhari, no. 2886, dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Lantas Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وَهَذَا هُوَ عَبْدُ هَذِهِ الْأُمُورِ فَلَوْ طَلَبَهَا مِنْ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ إذَا أَعْطَاهُ إيَّاهَا رَضِيَ ؛ وَإِذَا مَنَعَهُ إيَّاهَا سَخِطَ وَإِنَّمَا عَبْدُ اللَّهِ مَنْ يُرْضِيهِ مَا يُرْضِي اللَّهَ ؛ وَيُسْخِطُهُ مَا يُسْخِطُ اللَّهَ ؛ وَيُحِبُّ مَا أَحَبَّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَيُبْغِضُ مَا أَبْغَضَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Inilah yang
namanya budak harta-harta tadi. Jika ia memintanya dari Allah dan Allah
memberinya, ia pun rida. Namun ketika Allah tidak memberinya, ia pun murka.
‘Abdullah (hamba Allah) adalah orang yang rida terhadap apa yang Allah ridai,
dan ia murka terhadap apa yang Allah murkai, cinta terhadap apa yang Allah dan
Rasul-nya cintai serta benci terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya benci.”
(Majmu’ah Al-Fatawa, 10:190)
Ada pula yang
masih peka hatinya namun kurang mendalami halal dan haram. Yang kedua ini disuruh
untuk belajar muamalah terkait hal halal dan haram.
‘Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang
berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam
riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”
‘Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,
لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا
“Janganlah
seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk
riba.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj, 6:310)
Kalau halal-haram
tidak diperhatikan, dampak jeleknya begitu luar biasa. Kali ini kita akan lihat
apa saja dampak dari harta haram.
Pertama: Memakan
harta haram berarti mendurhakai Allah dan mengikuti langkah setan.
Dalam surah
Al-Baqarah disebutkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Disebutkan oleh
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Badai’ Al-Fawaid (3:381-385), ada beberapa
langkah setan dalam menyesatkan manusia, jika langkah pertama tidak bisa, maka
akan beralih pada langkah selanjutnya dan seterusnya:
Langkah pertama:
Diajak pada kekafiran, kesyirikan, serta memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
Langkah kedua:
Diajak pada amalan yang tidak ada tuntunan (bidah).
Langkah ketiga:
Diajak pada dosa besar (al-kabair).
Langkah keempat:
Diajak dalam dosa kecil (ash-shaghair).
Langkah kelima:
Disibukkan dengan perkara mubah (yang sifatnya boleh, tidak ada pahala dan
tidak ada sanksi di dalamnya) hingga berlebihan.
Langkah keenam:
Disibukkan dalam amalan yang kurang afdal, padahal ada amalan yang lebih afdal.
Kedua: Akan
membuat kurang semangat dalam beramal saleh
Dalam ayat
disebutkan,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul,
makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Mu’minun: 51). Yang dimaksud dengan makan yang thayyib di sini adalah makan
yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462.
Ibnu Katsir
rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul
‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal
saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah
yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462).
Ketiga: Memakan
harta haram adalah kebiasaan buruk orang Yahudi.
Sebagaimana
disebutkan dalam ayat,
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan kamu akan
melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa,
permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka
telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka
tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al-Maidah:
62-63)
Ibnu Katsir
rahimahullah mengatakan bahwa rabbaniyyun adalah para ulama yang menjadi
pelayan melayani rakyatnya. Sedangkan ahbar hanyalah sebagai ulama. Lihat
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:429.
Ayat berikut
membicarakan kebiasaan Yahudi yang memakan riba,
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرً, وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan
kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba,
Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’:
160-161)
Ibnu Katsir
mengatakan bahwa Allah telah melarang riba pada kaum Yahudi, namun mereka
menerjangnya dan mereka memakan riba tersebut. Mereka pun melakukan pengelabuan
untuk bisa menerjang riba. Itulah yang dilakukan mereka memakan harta manusia
dengan cara yang batil. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:273).
Siapa yang
mengambil riba bahkan melakukan tipu daya dan akal-akalan supaya riba itu
menjadi halal, berarti ia telah mengikuti jejak kaum Yahudi. Dan inilah yang
sudah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan
terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan
Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?” (HR. Bukhari, no.
7319)
Dari Abu Sa’id
Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian
akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan
sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke
lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.”
Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah
Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim, no.
2669).
Ibnu Taimiyah
menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan
mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ah
Al-Fatawa, 27: 286.
Keempat: Badan
yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka.
Yang pernah
dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin
‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang
haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh
Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Kelima: Doa sulit
dikabulkan
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه
‘Sesungguhnya
Allah Ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib).
Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang
diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para rasul,
makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS.
Al-Mu’minun: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman!
Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. Al-Baqarah:
172). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang
yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua
tangannya ke langit, lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari
yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)
Empat sebab
terkabulnya doa sudah ada pada orang ini yaitu:
Keadaan dalam
perjalanan jauh (safar).
Meminta dalam
keadaan sangat butuh (genting).
Menengadahkan
tangan ke langit.
Memanggil Allah
dengan panggilan “Yaa Rabbii” (wahai Rabb-ku) atau memuji Allah dengan menyebut
nama dan sifat-Nya, misalnya: “Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam” (wahai Rabb yang
memiliki keagungan dan kemuliaan), “Yaa Mujiibas Saa’iliin” (wahai Rabb yang
Mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Mu), dan lain-lain.
Namun dikarenakan
harta haram membuat doanya sulit terkabul.
Keenam: Harta
haram membuat kaum muslimin jadi mundur dan hina
Dari ‘Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian
berjual beli dengan cara ‘inah (salah satu transaksi riba), mengikuti ekor sapi
(maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya:
sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain),
maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya
dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Daud, no.
3462. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud,
9:242).
Ketujuh: Karena
harta haram banyak musibah dan bencana terjadi
Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah
marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk
negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR.
Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi
mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan lighairi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no.
1859).
Semoga Allah
mengaruniakan kepada kita rezeki yang halalan Thoyyibah. Aamiin
sumber : rumaysho.com