Bagikandakwah - Kotoran itu menjijikkan dan najis, namun apakah semua
kotoran itu najis, termasuk kotoran cicak yang mana hewan ini tidak bisa kita
hindari disebabkan hidup diatap rumah kita dan berkembang biar. Sehingga ketika
kotoran tersebut jatuh ke lantai mengenai makanan atau badan kita sendiri, lalu
bagaimana hukumnya?
Apakah kotoran cicak tergolong najis atau tidak?
Pertama, Cicak Tergolong Hewan yang Tak berdarah
Imam Nawawi -ulama Mazhab Syafii- dalam bukunya al-Majmu’
mengatakan:
وأما الوزغ فقطع الجمهور بأنه لا نفس له سائلة
“Untuk cicak, mayoritas ulama menegaskan, dia termasuk
binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir.” (al-Majmu’, 1:129)
Hal yang sama juga disampaikan ar-Ramli ulama yang juga
bermazhab Syafi’i dalam an-Nihayah:
ويستثنى من النجس ميته لا دم لها سائل عن موضع جرحها، إما بأن لا يكون لها دم أصلاً، أو لها دم لا يجري
“Dikecualikan dari benda najis (tidak termasuk najis),
bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir ketika dilukai, baik
karena tidak memiliki darah sama sekali atau memliki darah, namun tidak
mengalir. Seperti cicak, tawon, kumbang, atau lalat. Semuanya tidak najis
bangkainya.: (Nihayah al-Muhtaj, 1:237)
Selanjutnya, Imam Ibnu Qudamah –ulama Madzhab Hanbali–
mengatakan lebih detail dalam bukunya al-Mughni:
مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ ، فَهُوَ طَاهِرٌ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِ وَفَضَلَاتِهِ
“Binatang yang tidak memiliki darah mengalir semua bagian
tubuhnya dan yang keluar dari tubuhnya (kotorannya) adalah suci.” (al-Mughni,
3:252).
Kedua, Kotoran Cicak tergolong yang Ma’fuat (Najis yang
Dimaafkan)
Kotoran cicak memiliki hukum ma’fu atau kotoran yang
dimaagkan, maka dari itu tdak perlu disucikan, sucup dibersihkan saja.
Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah
Qolyubi juz 1 halaman 209:
(ويعفى) أي في الصّلاة فقط، أو فيها وغيرها ما مرّ على عامر. قوله: (عن قليل دم البراغيث) ومثله فضلات ما لا نفس له سائلة. قال شيخ شيخنا عميرة ومثله بول الخفّاش، كما في شرح شيخنا ورجّح العلّامة ابن قاسم العفو عن كثيره أيضا. قال وذرقه كبوله، وقال تبعا لابن حجر، وكذا سائر الطّيور، ويعفى عن ذرقها وبولها، ولو في غير الصّلاة على نحو بدن أو ثوب قليلا أو كثيرا رطبا أو جافّا ليلا أو نهارا لمشقّة الاحتراز عنها فراجعه مع ما ذكروه في ذرق الطّيور في المساجد
“Imam Ibnu Qasim berpendapat bahwa kotoran kelelawar sama
halnya seperti kencingnya, pendapat beliau ini mengikuti Imam Ibnu Hajar, dan
hal ini sama dengan jenis burung yang lainya. Kotoran dan air kencingnya
hukumnya dima’fu meskipun itu terjadi dalam selain shalat seperti terkena pada
badan atau baju, baik najisnya sedikit atau banyak, basah ataupun kering, dan
malam atau siang dikarenakan sulit untuk menjaganya, dan apa yang telah
tertuturkan tadi itu hukumnya sama (dima’fu) dengan kotoran burung yang berada
di dalam masjid.”
Meskipun tidak semua ulama sepakat namun mayoritas ulama
mengatakan bahwa kotoran cicak itu sama dengan kotoran hewan lainnya yang tidak
berdarah atau darahnya tidak mengalir. Dijelaskan bahwa semua hewan yang
memiliki darah tidak mengalir semuanya suci termasuk kotorannya.
Apalagi karena cicak adalah bagian hewan yang sulit
dihindari dan selalu berkeliaran sehingga kotorannya pun akan sering kita
jumpai dan tidak bisa kita hindari maka najis tersebut dianggat sebagai najis
yang diampuni.
Demikianlah penjelasan yang bisa kami bagikan, Semoga bermanfaat
Allahu A'lam
sumber :bincangsyariah.com