Bagikandakwah - Bagaimana hukum meninggalkan shalat Jumat dan shalat
berjamaah saat wabah Corona melanda? Berikut tinjauan hukumnya.
Dalam Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah Al-Muta’alliqah bi Al-Waba’ wa
Ath-Tha’uun (hlm. 22) menyatakan bahwa meninggalkan shalat berjamaah dan shalat
Jumat dibolehkan hanya ketika khawatir tertimpa bahaya yang sudah terlihat
jelas bahayanya dan yakin, atau yakin akan terkena virus. Adapun jika baru
sangkaan, maka tidak dibolehkan meninggalkan shalat jamaah dan shalat jumat.
Yang menganggap bahaya ataukah tidak untuk berkumpul adalah para pakar dan
pemerintah yang bertanggungjawab dalam hal ini.
Masalah pergi ke masjid untuk shalat berjamaah dan shalat
Jumat dirinci sebagai berikut:
Pertama: Pasien yang terkena virus diharamkan menghadiri
shalat Jumat dan shalat berjamaah, hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ
“Jangan dikumpulkan yang sakit dengan yang sehat.” (HR.
Bukhari, no. 5771 dan Muslim, no. 2221)
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الطَّاعُونَ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأرْضٍ، وأنْتُمْ فِيهَا، فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri,
maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu
negeri sedang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri
itu.” (HR. Bukhari, no. 5728 dan Muslim, no. 2218)
Kedua: Orang yang diputuskan oleh instansi khusus untuk
diisolasi, maka dia harus berkomitmen akan hal itu dan tidak menghadiri shalat
berjamaah dan shalat Jumat, dia menunaikan shalatnya di rumah atau di tempat
isolasinya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Asy-Syarid dari
bapaknya, ia berkata,
كَانَ فِى وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَفَارْجِعْ »
“Dahulu ada utusan dari Tsaqif ada yang terkena kusta. Maka
Nabi shallallahu alihi wa sallam mengirim pesan ‘Sungguh kami telah membaiat
Anda, maka pulanglah.” (HR. Muslim, no. 328).
Ketiga: Yang khawatir terkena virus (karena sudah menyebar
di daerahnya) atau ia dapat mencelakai orang lain, maka dia diberi keringanan
tidak menghadiri shalat Jumat dan shalat berjamaah. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun
disengaja.”(Hadits hasan, HR. Ibnu Majah, no. 2340; Ad-Daraquthni no. 4540, dan
selain keduanya dengan sanadnya, serta diriwayatkan pula oleh Malik dalam
Al-Muwaththa’ no. 31 secara mursal dari Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan Abu Sa’id, tetapi ia memiliki
banyak jalan periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain)
Dari semua yang disebutkan di atas, kalau dia tidak
menghadiri shalat Jumat, maka diganti dengan shalat Zhuhur empat rakaat.
[Hal di atas kami ringkaskan dari fatwa Hayah Kibar
Al-‘Ulama’ di Kerajasan Saudi Arabia, no. 246, 16/7/1441 H]
Majelis Ulama Indonesia menetapkan sebagai berikut yang
ringkasnya:
Pertama: Jika berada di suatu kawasan yang potensi penularan
tinggi atau sangat tinggi, berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia
boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantikannya dengan shalat Zhuhur di
tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu, tarawih, dan Ied
di masjid atau tempat umum lainnya.
Kedua: Jika berada di suatu kawasan yang potensi
penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia tetap
wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri
agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman,
berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan
dengan sabun. (Fatwa Majelis Ulama Indonesia, no. 14 tahun 2020)
Demikianlah informasi yang bisa kami bagikan, Semoga dapat bermanfaat.
sumber : rumaysho.com